Selasa, 06 Desember 2016

Tinjauan Kefilsafatan Tentang Manusia



Menurut tinjaun kefilsafatan manusia adalah makhluk yang bertanya, dalam hal ini manusia sebagai makhluk yang mempertanyakan dirinya sendiri dan keberadaannya serta mempertanyakan dirinya sendiri dan keberadaannya serta kosnous secara menyeluruh. Dalam hal ini manusia mulai tau keberadaannya dan menyadari bahwa dirinya penanya.
Apabila kita tinjau dari segi dayanya, maka jelaslah bahwa manusia memiliki dua macam daya. Di satu pihak manusia memiliki daya untuk mengenal dunia rohani, yang nous, suatu daya intuitip, yang karena kerjasama dengan akal menjadikan manusia dapat memikirkan serta membicarakan hal-hal yang rohani. Di lain pihak manusia memiliki daya pengamatan, yang karena pengamatan langsung dapat menjadikan manusia memiliki pengetahuan yang berdasarkan pengamatannya.
Tinjauan kefilsafatan tentang manusia di atas menitikberatkan kepada dayanya, akan tetapi pandangan Philo yang mempertemukan filsafat Helinisme dengan agama Yahudi lebih menitikberatkan kepada aspek lain. Hal ini tampak jelas dalam pandangannya bahwa dalam strukturnya manusia adalah gambar alam semesta. Kebijakan diungkapkan dalam tiga tingkatan, yaitu:
a) Apatheia (tiada perasaan), dimana orang melepaskan diri dari segala hawa nafsu dan dari segala yang bersifat bendani, serta mematikan segala keinginan rasa, segala kecenderungan dan hawa nafsu.
b) Kebijaksanaan, adalah suatu karunia Ilahi yang diarahkan kepada yang susila atau kesalahan.
c) Ekstase, yaitu menenggelamkan diri ke dalam yang Ilahi.
Pemikiran Philo besar sekali pengaruhnya bagi pemikiran filsafat berikutnya terutama yang menyangkut masalah manusia. Hal ini dapat kita lihat dalam pemikiran Plotinos yang menegaskan bahwa tujuan hidup manusia adalah kembali dipersatukannya manusia dengan yang “Ilahi”. Menurut Plotinos, jalan kembali atau remansi ini bertahap atau bertingkat-tingkat, sama dengan apa yang diajarkannya tentang remansi atau pengaliran keluar. Jalan kembali terdiri dari segi tahap, yaitu melakukan kebijakan umum, berfilsafat dan mistik.
Philo maupun Plotinus meletakkan dasar-dasar pemikiran tentang manusia secara kefilsafatan yang berdampingan dengan pandangan agama. Tradisi pemikiran seperti ini dapat pula kita lihat dalam masa patristik Barat yang lebih nyata dalam pemikiran Aurelius Augustinus. Dalam hal ini ditegaskan bahwa dasar penciptaan dunia adalah akal dan hikmat Allah. Di dalam akal Allah terdapat gagasan-gagasan Ilahi atau idea-idea Ilahi.
Sama halnya dengan dunia, manusia juga berpartisipasi dengan idea-idea Ilahi. Akan tetapi pada manusia partisipasi ini tidak halnya terjadi secara pasif, melainkan juga dilaksanakan secara aktif, yaitu di dalam suatu pengenalan yang penuh kasih, dengannya manusia melaluli para makhluk naik agar sampai kepada pengakuan terhadap Allah. Demikianlah oleh Augustinus kasih dan pemikirannya dihubungkan secara harmonis.
Pandangan Leibniz dapat dirumuskan bahwa manusia adalah suatu kumpulan monade, yang karena keselarasan yang ditentukan sebelumnya telah dihubungkan oleh suatu “ikatan substansi”. Ikatan substansi adalah suatu asas metafisi yang ada di dalam segala sesuatu, yang harus dibedakan dengan monade, dan yang tidak tergantung kepada monade. Menurut tubuhnya manusia termasuk monad yang pertama, menurut nafsu dan perasaannya ia termasuk monade kedua, akan tetapi menurut jiwanya ia termasuk monade ketiga.
Pemikiran para filsuf tentang manusia terus berkembang. Akan tetapi di dalam perkembangan tersebut tidak dapat disimpulkan tentang tenalitasnya, terutama yang menyakut kesempurnaan pemikirannya. Perkembangan pemikiran tentang manusia menunjukkan adanya upaya yang terus-menerus untuk menemukan hakikat manusia. Hal ini berarti ingin dicapai pengertian yang mendalam dan radikal tentang manusia.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar