Di dunia ini
ada beberapa macam kesusilaan, diantaranya adalah Hedonisme. Hedonisme atau
yang lebih sering disebut dengan sebutan kaum hedon adalah paham sebuah aliran
filsafat dari Yunani. Hedonisme berangkat dari pendirian bahwa menurut
kodratnya manusia mengusahakan kenikmatan atau kesenangan. Paham aliran ini
mempunyai sebuah tujuan, yaitu mencari kebahagiaan sebanyak – banyaknya dan
menjahui segala macam kesengsaraan yang mungkin akan terjadi. Dan semua yang
ada di dunia ini pasti tak luput akan tanggapan positif maupun negatif.
Demikian juga dengan paham ini. Paham ini juga tak luput dari persepsi orang
sebagai paham positif maupun paham negatif. Pada saat itu, hedonisme bertolak
dari pendirian, bahwa menurut kodratnya manusia mengusahakan kenikmatan, yang
dalam bahasa Yunaninya di sebut “hedonisme”.
Etika
hedonisme dalam buku – buku etika masuk dalam telologis (dari kata Yunani telos
yang artinya tujuan, dan logos yang artinya kata atau fikiran), terarah pada
tujuan. Etika hedonisme, biasanya dimasukkan kekelompok teori – teori egoisme
etis, karena mengusahakan kebahagiaan bagi orang yang bertindak itu sendiri
(individualistik). Karena berbicara tentang tindakan baik dan buruk, etika
hedonisme juga masuk dalam teori etika normative. Kala itu, Hedonisme masih
mempunyai arti positif, karena dalam perkembangannya, paham ini hanya mencari
kebahagiaan yang berefek panjang tanpa disertai penderitaan. Dan secara
negatif, paham ini terungkap ketika dalam sikap menghindari rasa sakit.
Hedonisme
menurut Pospoprodijo, mengungkapkan bahwa kesenangan (kenikmatan) adalah tujuan
akhir hidup dan yang baik adalah yang tertinggi. Sedangkan menurut Aristoteles
dalam kitab karangannya “Russell” (2004:243), yaitu yang berbunyi “kenikmatan
berbeda dengan kebahagiaan, sebab tak mungkin ada kebahagiaan tanpa kenikmatan.
Ada tiga pandangan tentang kenikmatan : (1) bahwa semua kenikmatan tidak baik;
(2) bahwa beberapa kenikmatan baik, namun sebagian besar buruk; (3) bahwa
kenikmatan baik, namun bukan yang terbaik”. Paham ini kemudian menyebar luas
dikalangan masyarakat kala itu, dan nampak sebagai sesuatu taraf kehidupan yang
wajar dilakukan. Dalam perkembangannya akhirnya muncul dalam keadaan sebuah
teori etika. Paham ini tampil secara sangat mencolok ketika saat zaman kuno,
yaitu Aristippus, pendiri mazhab Cyrene (lebih kurang 400 SM), dan juga pada
Epicurus (341 – 271 SM), tetapi juga dalam zaman yang lebih baru, yaitu pada
apa yang dinamakan para penganut paham Utilisme yang nanti akan di bahas secara
tersendiri.
Paham aliran
Hedonisme diajarkan secara terang – terangan, bahkan diajarkan secara tidak
tanggung – tanggung, namun juga sering diajarkan secara terselubung, sehingga
hampir – hampir tidak dapat dikenal. Ketika paham aliran ini diajarkan mengenai
sifatnya, dan yang paling jelas ialah ketika menyingkapkan sifatnya, bahwa
kenikmatan itu sendiri adalah berharga, sehingga dalam hal ini yang dicari
bukan sifat kenikmatannya, melainkan semata – mata jumlah kenikmatannya. Setelah
menyadari hal tersebut, maka paham ini mengajarkan bahwa orang harus bersikap
bijak dalam menikmati sesuatu, yaitu pertama – tama orang harus mulai dengan
mengendalikan hasratnya. Aristippus sendiri mengajarkan : “kenikmatan ada
ditanganku, bukan aku yang ada ditangan kenikmatan”.
Dari ajaran
Aristippus ini, dapat kita simpulkan bahwasanya, janganlah kita terpaku kepada
satu peristiwa saja, akan tetapi fahamilah itu secara menyeluruh, karena yang
paling utama ialah hasil terakhir dari suatu kenikmatan. Oleh karena itu, dia
mengajarkan pahamnya untuk bisa menahan rasa sakit sebentar yang pada akhirnya
dapat merasakan rasa nikmat yang lebih besar. Akan tetapi dalam contoh
kehidupan sehari – hari, manusia selalu menghindari rasa sakit, penderitaan,
serta hal – hal yang menyakitkan lainnya. Dan sebaliknya mengejar apa saja yang
dapat menimbulkan kesenangan atau kenikmatan. Seseorang dikatakan baik bila
perilakunya dibiarkan dan ditentukan oleh suatu pertanyaan, yaitu bagaimana
caranya agar dirinya memperoleh kenikmatan yang sebesar – besarnya, dengan
besikap seperti itu ia bukan hanya hidup sesuai dengan kodratnya, melainkan
juga memenuhi tujuan hidupnya.
Dalam hal ini,
“virus hedon” tidak hanya menyerang orang dewasa yang sudah bekerja, bahkan
anak – anak sampai orang tuapun juga terjangkit “virus” ini. Anak akan
mempunyai kecenderungan Hedonistis, karena akibat kodrat biologis dan belum
jalannya daya penalaran, anak harus bergantung kepada orang tua atau kepada
orang lain. Bersama dengan berjalannya waktu dan proses sosialisasi, ia akan
mulai punya kesadaran dan kemampuan menentukan pilihan. Kemudian setelah ia
beranjak dewasa, ia akan sangat antusias terhadap adanya hal baru.
Karena gaya
hidup hedonis daya pikatnya sangat menarik bagi mereka, sehingga dalam waktu
singkat muncullah fenomena baru akibat paham ini. Fenomena yang muncul, ada
kecenderungan untuk lebih memilih hidup enak, mewah, dan serba kecukupan tanpa
harus bekerja keras. Tidaklah mengherankan, bisa dikatakan jika saat ini muncul
fenomena baru yang muncul di kehidupan kampus. Semisal adanya “ayam kampus”
(suatu pelacuran terselubung yang dilakukan oleh beberapa oknum mahasiswi),
karena profesi ini dianggap paling enak dan gampang menghasilkan uang untuk
memenuhi syarat remaja gaul dan funky. Oleh karena itu, tidak dapat kita
pungkiri bahwa dalam kehidupan hedonisme terkandung kebenaran yang mendalam,
yaitu menurut kodratnya mencari kenikmatan dan berupaya agar terhindar dari hal
– hal yang menyakitkan. Karena sejak kecil manusia pasti menginginkan kesenangan
hidup.
Tapi dari
pemaparan diatas, setiap paham pasti mempunyai masalah – masalah yang timbul.
Misal, seperti pandangan ini akan menyinggung perasaan seseorang yang sangat
peka di bidang kesusilaan. Manusia seakan – akan menjadikan binatang sebagai idaman
hatinya, dan dalam hal ini binatang peliharaan yang teramat baik. Kehidupan
seperti ini, dapat menimbulkan iri hati pada manusia yang sarat dengan masalah
– masalah yang disadarinya secara berlebihan yang senantiasa terombang – ambing
kian kemari antara harapan dengan ketakutan, yang terus menerus dikejar – kejar
didalam perjuangan untuk memperoleh kehidupan yang lebih baik. Disamping
keberatan – keberatan praktik dapat juga diajukan keberatan – keberatan
psikologik terhadap hedonisme. Tidaklah benar bahwa menurut kodratnya manusia
mengusahakan kenikmatan, yang ia usahakan ialah hal – hal yang dapat
menimbulkan kenikmatan, seperti juga kebalikannya, bukannya ia menyingkiri rasa
sakit, melainkan menyingkiri sesuatu yang dapat menimbulkan rasa sakit.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar