“Hidup yang
tak dipikirkan adalah hidup yang tak pantas dijalani” begitu kata sokrates
ketika ia masih hidup. Ia memandang bahwa hidup yang bermakna dan berkualitas
tinggi itu harus dijalani dengan menggunakan pikiran yang dimiliki manusia.
Proses berpikir merupakan menggunakan pikiran yang dimiliki manusia. Proses
berpikir merupakan suatu kemampuan yang melekat pada makhluk manusia yang
berbeda dengan spesies lainnya, yaitu binatang dan tumbuhan. Menurut
Aristoteles, filsuf yunani kuno, nalarlah yang membedakan manusia dari
binatang, sedangkan seluruh fungsi tubuh yang lain sama dengan binatang.
Lihatlah
tumbuhan. Mereka tumbuh dan berkembang semata-mata ditentukan dan tergantung
pada alam yang ada, pada syarat-syarat material tempat, dan lingkungannya
tumbuh. Demikian juga hewan, yang hidup dengan mengikuti naluri dan hawa
nafsunya, tidak memiliki perasaan dan pikiran atau akal dalam mengambil
keputusan. Sedangkan, manusia memiliki pertimbangan sebelum melakukan sesuatu.
Manusia memiliki imajinasi dan mampu merespons dunia dan mengait-kaitkan setiap
kejadian dan situasi lingkungan kemudian mengatasinya dengan menggunakan
akalnya, mampu menghadapi alam, menjelaskannya, dan merekayasanya untuk
memudahkan kehidupan dan mengembangkan kebudayaannya.
Apakah
manusia harus mengetahui hal-ihwal kehidupan agar dapat terus meneruskan hidup
kita sehari-hari? Tentu jawabannya adalah tidak. Namun, jika kita ingin
mendapat satu pemahaman rasional mengenai dunia yang kita diami ini,
proses-proses dasar yang bekerja di alam, masyarakat, dan cara kita untuk
memandangnya, persoalannya akan jadi lain.
Hal itu
berkaitan dengan posisi filsafat dalam kehidupan sehari-hari. Lalu, juga
berkaitan dengan bagaimanakah filsafat memengaruhi cara orang bertindak.
Kemudian juga, apa saja yang memengaruhi orang untuk berfilsafat. Sepertinya
memang, ada hubungan antara cara manusia berpikir dan kualitas atau model
kehidupan yang diterimanya. Model kehidupan yang penulis maksud di sini,
misalnya hubungan antara satu manusia dan lainnya, serta kebudayaan yang
diterimanya, hingga tindakan-tindakan yang dilakukannya.
Dalam
kehidupan manusia dari zaman ke zaman, atau dalam kehidupan manusia dari
berbagai kelompok sosial yang berbeda, berbagai cara pandang filsafat juga
muncul, sesuai dengan perkembangan sosial kelompok masing-masing. Kita melihat
Negara-negara atau kawasan yang berbeda perkembangan budayanya dengan
ditunjukkan oleh tingkat capaian ekonomi, politik, hingga capaian teknologinya,
juga akan menunjukkan perbedaan cara pandangnya.
Misalnya,
bandingkan eropa dengan asia, atau bandingkan Prancis dengan Indonesia. Cara
orang memahami dunia, memahami orang lain dan hubungan dengan orang lain, serta
cara memandang alam ternyata sangat menunjukkan bagaimana perkembangan
kehidupannya secara material atau secara nyata. Perbedaan tentang nilai, mana
yang baik dan mana yang buruk, juga akan menentukan bagaimana perkembangan
masyarakat tersebut secara material.
Namun juga
sebaliknya, perkembangan cara berpikir dan kemampuan juga kebutuhan untuk
memahami dunia, juga terkait erat dengan kebutuhan untuk bertahan hidup pada
ranah material. Dalam sejarahnya, manusia adalah makhluk hidup yang harus
bertahan hidup dari alam, mendapatkan sesuatu dari alam untuk bertahan hidup,
mengembangkan kehidupannya. Karena alam merupakan suatu yang bergerak
(berubah), ada tingkat-tingkat kesulitan yang harus dihadapi. Kesulitan ini
dikenal sebagai kontradiksi alam. Untuk hidup, manusia harus mengatasi kontradiksi
alam itu.
Ini adalah
hukum sejarah. Sebagai contoh: lapar, misalnya, adalah bentuk kontradiksi
karena manusia adalah bagian dari alam juga. Maka, hal itu harus dihadapi. Akan
tetapi, tidak semua bagian dari alam bisa dimakan atau dimasukkan perut begitu
saja. Mereka harus mencari, yang dilakukannya dengan bergerak dan bekerja.
Karena itulah, mereka berhadapan dengan alam yang harus dihadapi
kesulitan-kesulitannya dengan cara mengatasi hambatan-hambatan material dan
kenyataan.
Dalam
menghadapi kesulitan-kesulitan itulah, manusia mengalami pengalaman-pengalaman
dan penemuan-penemuan yang kemudian menjadi kumpulan pengetahuan. Pengetahuan
bisa berupa wawasan, menjadi kumpulan pengetahuan. Pengetahuan bisa berupa
wawasan, juga bisa yang mendukung keterampilan teknik. Hal itu mustahil jika
tak juga bisa yang mendukung keterampilan teknik. Hal itu mustahil jika tak
dialami dari kerja konkret berhadapan dengan alam. Jadi, basis pengetahuan dan
cara pandang adalah kenyataan material akibat kerja itu. Akan tetapi, pada
suatu waktu, seiring dengan perjalanan sejarah, pengetahuan-pengetahuan yang
kian bertambah melahirkan kesimpulan, melahirkan dasar bagi pengetahuan
setelahnya yang akan meningkatnya kecanggihan pengetahuan manusia. Akibat nyata
dari berkembangnya pengetahuan, juga diikuti dengan perkembangan teknik dalam
memudahkan mencari makanan, menjalani kehidupan, dan mengembangkannya.
Bukti bahwa
kerja dan kenyataan menghadapi alamlah yang memunculkan pengetahuan dan teknik,
misalnya awal manusia memenuhi kebutuhan makanan dengan cara memetik buah yang
letaknya rendah, atau menangkap binatang (hewan) dengan cara mudah tanpa
bantuan alat. Namun, pada akhirnya ia belajar dari alam tentang hukum-hukumnya.
Misalnya, suatu saat ketika ia berjalan di tengah hutan, kebetulan badannya
tertusuk semak-semak tajam yang membuat kulitnya berdarah, akibat ranting yang
bentuknya lancip. Akibatnya luka itu membuat dirinya kian lemah dan lemas. Dari
sini ia mengambil kesimpulan bahwa kalau makhluk hidup kena benda tajam, ia akan
mengeluarkan darah dan kian lemah bahkan bisa mati. Pengalaman semacam inilah
yang membuat ia membuat tombak atau benda runcing yang bisa mempermudah
menangkap hewan, bahkan melawan hewan buas yang menghambat perjalanannya
mencari makanan.
Makhluk-makhluk
hominid menemukan penggunaan keping-keping batu untuk memotong daging hewan
yang berkulit tebal sehingga mereka beruntung karena mampu bertahan hidup
ketimbang makhluk-makhluk lain yang tidak sanggup meraih sumber property dan
lemak yang luar biasa itu. Merekalah manusia, yang sanggup menyempurnakan
alat-alat bantu mereka, dan yang sanggup mencari tempat yang menyediakan
batu-batu terbaik akan memiliki kesempatan lebih besar untuk bertahan hidup.
Ditemukannya besi, yang lebih maju dari batu, membuat perkembangan teknik
berjalan secara radikal. Seiring perkembangan teknologi, muncullah pula
perkembangan nalar dan kebutuhan untuk menjelaskan berbagai gejala alam yang
mengatur hidup mereka. Dalam jangka yang sangat lama, bukan hanya puluhan
tahun, melainkan juga jutaan tahun, melalui trial and error, nenek moyang mulai
menetapkan berbagai hubungan antar materi-materi dalam kehidupan. Mereka mulai
membuat abstraksi, yaitu menggeneralisasi pengalaman dan praktik yang mereka
temui sehari-hari.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar