Senin, 05 Desember 2016

Hubungan Filsafat Dengan Kehidupan Sehari-Hari



“Hidup yang tak dipikirkan adalah hidup yang tak pantas dijalani” begitu kata sokrates ketika ia masih hidup. Ia memandang bahwa hidup yang bermakna dan berkualitas tinggi itu harus dijalani dengan menggunakan pikiran yang dimiliki manusia. Proses berpikir merupakan menggunakan pikiran yang dimiliki manusia. Proses berpikir merupakan suatu kemampuan yang melekat pada makhluk manusia yang berbeda dengan spesies lainnya, yaitu binatang dan tumbuhan. Menurut Aristoteles, filsuf yunani kuno, nalarlah yang membedakan manusia dari binatang, sedangkan seluruh fungsi tubuh yang lain sama dengan binatang.
Lihatlah tumbuhan. Mereka tumbuh dan berkembang semata-mata ditentukan dan tergantung pada alam yang ada, pada syarat-syarat material tempat, dan lingkungannya tumbuh. Demikian juga hewan, yang hidup dengan mengikuti naluri dan hawa nafsunya, tidak memiliki perasaan dan pikiran atau akal dalam mengambil keputusan. Sedangkan, manusia memiliki pertimbangan sebelum melakukan sesuatu. Manusia memiliki imajinasi dan mampu merespons dunia dan mengait-kaitkan setiap kejadian dan situasi lingkungan kemudian mengatasinya dengan menggunakan akalnya, mampu menghadapi alam, menjelaskannya, dan merekayasanya untuk memudahkan kehidupan dan mengembangkan kebudayaannya.
Apakah manusia harus mengetahui hal-ihwal kehidupan agar dapat terus meneruskan hidup kita sehari-hari? Tentu jawabannya adalah tidak. Namun, jika kita ingin mendapat satu pemahaman rasional mengenai dunia yang kita diami ini, proses-proses dasar yang bekerja di alam, masyarakat, dan cara kita untuk memandangnya, persoalannya akan jadi lain.
Hal itu berkaitan dengan posisi filsafat dalam kehidupan sehari-hari. Lalu, juga berkaitan dengan bagaimanakah filsafat memengaruhi cara orang bertindak. Kemudian juga, apa saja yang memengaruhi orang untuk berfilsafat. Sepertinya memang, ada hubungan antara cara manusia berpikir dan kualitas atau model kehidupan yang diterimanya. Model kehidupan yang penulis maksud di sini, misalnya hubungan antara satu manusia dan lainnya, serta kebudayaan yang diterimanya, hingga tindakan-tindakan yang dilakukannya.
Dalam  kehidupan manusia dari zaman ke zaman, atau dalam kehidupan manusia dari berbagai kelompok sosial yang berbeda, berbagai cara pandang filsafat juga muncul, sesuai dengan perkembangan sosial kelompok masing-masing. Kita melihat Negara-negara atau kawasan yang berbeda perkembangan budayanya dengan ditunjukkan oleh tingkat capaian ekonomi, politik, hingga capaian teknologinya, juga akan menunjukkan perbedaan cara pandangnya.
Misalnya, bandingkan eropa dengan asia, atau bandingkan Prancis dengan Indonesia. Cara orang memahami dunia, memahami orang lain dan hubungan dengan orang lain, serta cara memandang alam ternyata sangat menunjukkan bagaimana perkembangan kehidupannya secara material atau secara nyata. Perbedaan tentang nilai, mana yang baik dan mana yang buruk, juga akan menentukan bagaimana perkembangan masyarakat tersebut secara material.
Namun juga sebaliknya, perkembangan cara berpikir dan kemampuan juga kebutuhan untuk memahami dunia, juga terkait erat dengan kebutuhan untuk bertahan hidup pada ranah material. Dalam sejarahnya, manusia adalah makhluk hidup yang harus bertahan hidup dari alam, mendapatkan sesuatu dari alam untuk bertahan hidup, mengembangkan kehidupannya. Karena alam merupakan suatu yang bergerak (berubah), ada tingkat-tingkat kesulitan yang harus dihadapi. Kesulitan ini dikenal sebagai kontradiksi alam. Untuk hidup, manusia harus mengatasi kontradiksi alam itu.
Ini adalah hukum sejarah. Sebagai contoh: lapar, misalnya, adalah bentuk kontradiksi karena manusia adalah bagian dari alam juga. Maka, hal itu harus dihadapi. Akan tetapi, tidak semua bagian dari alam bisa dimakan atau dimasukkan perut begitu saja. Mereka harus mencari, yang dilakukannya dengan bergerak dan bekerja. Karena itulah, mereka berhadapan dengan alam yang harus dihadapi kesulitan-kesulitannya dengan cara mengatasi hambatan-hambatan material dan kenyataan.
Dalam menghadapi kesulitan-kesulitan itulah, manusia mengalami pengalaman-pengalaman dan penemuan-penemuan yang kemudian menjadi kumpulan pengetahuan. Pengetahuan bisa berupa wawasan, menjadi kumpulan pengetahuan. Pengetahuan bisa berupa wawasan, juga bisa yang mendukung keterampilan teknik. Hal itu mustahil jika tak juga bisa yang mendukung keterampilan teknik. Hal itu mustahil jika tak dialami dari kerja konkret berhadapan dengan alam. Jadi, basis pengetahuan dan cara pandang adalah kenyataan material akibat kerja itu. Akan tetapi, pada suatu waktu, seiring dengan perjalanan sejarah, pengetahuan-pengetahuan yang kian bertambah melahirkan kesimpulan, melahirkan dasar bagi pengetahuan setelahnya yang akan meningkatnya kecanggihan pengetahuan manusia. Akibat nyata dari berkembangnya pengetahuan, juga diikuti dengan perkembangan teknik dalam memudahkan mencari makanan, menjalani kehidupan, dan mengembangkannya.
Bukti bahwa kerja dan kenyataan menghadapi alamlah yang memunculkan pengetahuan dan teknik, misalnya awal manusia memenuhi kebutuhan makanan dengan cara memetik buah yang letaknya rendah, atau menangkap binatang (hewan) dengan cara mudah tanpa bantuan alat. Namun, pada akhirnya ia belajar dari alam tentang hukum-hukumnya. Misalnya, suatu saat ketika ia berjalan di tengah hutan, kebetulan badannya tertusuk semak-semak tajam yang membuat kulitnya berdarah, akibat ranting yang bentuknya lancip. Akibatnya luka itu membuat dirinya kian lemah dan lemas. Dari sini ia mengambil kesimpulan bahwa kalau makhluk hidup kena benda tajam, ia akan mengeluarkan darah dan kian lemah bahkan bisa mati. Pengalaman semacam inilah yang membuat ia membuat tombak atau benda runcing yang bisa mempermudah menangkap hewan, bahkan melawan hewan buas yang menghambat perjalanannya mencari makanan.
Makhluk-makhluk hominid menemukan penggunaan keping-keping batu untuk memotong daging hewan yang berkulit tebal sehingga mereka beruntung karena mampu bertahan hidup ketimbang makhluk-makhluk lain yang tidak sanggup meraih sumber property dan lemak yang luar biasa itu. Merekalah manusia, yang sanggup menyempurnakan alat-alat bantu mereka, dan yang sanggup mencari tempat yang menyediakan batu-batu terbaik akan memiliki kesempatan lebih besar untuk bertahan hidup. Ditemukannya besi, yang lebih maju dari batu, membuat perkembangan teknik berjalan secara radikal. Seiring perkembangan teknologi, muncullah pula perkembangan nalar dan kebutuhan untuk menjelaskan berbagai gejala alam yang mengatur hidup mereka. Dalam jangka yang sangat lama, bukan hanya puluhan tahun, melainkan juga jutaan tahun, melalui trial and error, nenek moyang mulai menetapkan berbagai hubungan antar materi-materi dalam kehidupan. Mereka mulai membuat abstraksi, yaitu menggeneralisasi pengalaman dan praktik yang mereka temui sehari-hari.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar