Selasa, 06 Desember 2016

Masih Efektifkah Ujian Nasional (UN)?



Suatu hal yang alamiah jika individu menginginkan yang terbaik. Sesuatu yang mulia jika ada kehendak untuk mencapai kondisi yang lebih baik lagi. Dalam hal inilah suatu pembanding sangat diperlukan, apakah membandingkan suatu hal dengan hal yang setara atau dengan keadaan yang sebelumnya.
Apapun itu diperlukan tolak ukur, gunanya untuk meminimalkan bias dalam menilai diri. Setelah proses belajar berlangsung banyak pihak yang ingin mengetahui, sampai sejauh apakah pelajaran dapat diserap oleh siswa, siswa mana saja yang mempunyai kemampuan menyerap yang paling terbelakang dari teman-teman satu sekolah, sekolah mana saja yang  memberikan proses pembelajaran yang terbaik dan seterusnya. Tolak ukur diharapkan menjadi masukan dalam proses evaluasi sehingga dapat diketahui sejauh apa melangkah dan sisi mana yang masih perlu diperbaiki.
Tidak mengherankan jika dalam ujian nasional banyak kasus dimana kepala sekolah dan para guru memfasilitasi siswanya untuk saling “berbagi” saat ujian berlangsung. Pihak sekolah ingin konduite sekolahnya bagus, para siswa tidak ingin mengulang satu tahun lagi. Untuk itu angka kelulusan minimal harus tercapai. Tanpa disadari oleh pembuat kebijakan standar baku yang ditentukannya menjadi tujuan yang hendak dicapai oleh sekolah.
Sehingga muncul pertanyaan apakah evaluasi pendidikan yang terfokus kepada angka sudah efektif sesuai dengan tujuan pendidikan itu sendiri?  Jawabannya bergantung kepada siapa yang memandang hal ini diimplementasikan. Namun, jika memandang kepada aspek proses pembelajarannya jawabannya adalah  belum efektif. Hal ini mengingat pendidikan adalah sebuah proses perjalanan pembelajaran, bukan sebuah hasil angka yang mudah dimanipulasi.

Kontradiksi
Ada kontradiksi dalam kebijakan pendidikan nasional. Sistem evaluasi pendidikan nasional di akhir bertentangan dengan proses pembelajaran yang sudah berlangsung. Ujian nasional yang memetakan perbedaan kualitas pendidikan malah menjadi alat untuk meningkatkan kualitas pendidikan.  Padahal perbedaaan kualitas pendidikan dan pengetahuan sejak semula ada pada proses pendidikan itu.  Oleh karenanya gaya high stakes testing dalam sistem pendidikan hanya akan mengungkung perkembangan potensi individu. Sekolah akan mengajarkan bahwa kebenaran ada pada otoritas, guru misalnya. Padahal, pada era digital seperti sekarang pengetahuan dapat diperoleh dari berbagai sumber.
Inteligensi tidak lebih dari daya ingat dan kemampuan mengulang. Akurasi ingatan dan kemampuan mengulang ini yang justru mendapatkan pengakuan. Tak mengherankan, jika daya analitis dan kemampuan berpikir kritis semakin menurun.
Sekolah tidak lebih dari pabrik untuk mencetak murid-murid yang mampu melewati ujian akhir. Karena fokus pada ujian nasional, jumlah jam belajar di kelas sama lamanya dengan jam belajar di tempat les. Kegiatannya bukan mencari pengetahuan, melainkan mengulang-ulang soal dan mencari cara singkat menjawab soal. Siswa pun menjadi cepat bosan, terasing  dan merasa frustasi.
Padahal jika ditelisik bahwa yang terpenting bukanlah siswa dapat menghafal dan memilih jawaban tepat pada  semua pelajaran, tetapi bagaimana siswa dapat mengintegrasikan pelajaran yang telah dipelajari dalam kehidupan sehari-hari utuk menciptakan jawaban melalui pengalamannya.

Berpikir instrumental
Proses belajar tidak lagi menjadi pengalaman yang menyenangkan. Tidak ada lagi kegembiraan karena mendapatkan pemaknaan dari penyingkapan pengetahuan. Ada kekosongan dalam proses belajar. Peserta didik menjadi terlatih untuk berpikir instrumental. Ciri khas berpikir seperti ini adalah melakukan manipulasi agar tujuan tercapai. Makna pendidikan menjadi terdegradasi. Pendidikan ini dikhawatirkan semakin jauh dari apa yang pernah digambarkan oleh para pendiri bangsa.
Jika dikatakan pendidikan kita terlalu menekankan aspek kognitif dimana secara sadar ataupun tidak telah akan terpantri dalam benak siswa sebuah paradigma belajar yang berorientasi kepada angka. Siswa akan melakukan apa saja untuk mendapatkan nilai yang bagus asal mereka lulus. Tidak terkecuali curang dalam ujian nasional. Bahkan kurangnya aspek spiritual juga benar adanya. Namun, aspek spiritual yang dimaksud bukanlah gagasan tentang agama, melainkan menciptakan kebaikan bagi kehidupan bersama, bagi kemajuan komunitasnya.
Ini adalah sebuah masalah yang besar dalam dunia pendidikan, hal ini akan menjadi fenomena gunung es yang apabila dibiarkan dan akan menjadi masalah yang komplek dan besar sehingga akan mempengaruhi kehidupan sosial lainnya.  Dimana masyarakat, akan terbiasa mencari kuantitas daripada kualitas itu sendiri. Pendidikan seharusnya menambah pengetahuan yang mengarahkan individu untuk mampu berempati, bekerja sama dan saling melayani dengan individu lain sehingga ketidakadilan dapat terkurangi.                       
Kesemuanya itu memupuk fondasi bagi karakter diri yang terbuka. Tidak picik pada perbedaan dan terbuka pada kemungkinan-kemungkinan baru. Visi kemajuan, inovasi, dan kreativitas dapat diharapkan dari orang-orang semacam ini. Saat itulah pendidikan yang memerdekaan mendapatkan makna yang sebenarnya.
 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar