Suatu hal
yang alamiah jika individu menginginkan yang terbaik. Sesuatu yang mulia jika
ada kehendak untuk mencapai kondisi yang lebih baik lagi. Dalam hal inilah
suatu pembanding sangat diperlukan, apakah membandingkan suatu hal dengan hal
yang setara atau dengan keadaan yang sebelumnya.
Apapun itu
diperlukan tolak ukur, gunanya untuk meminimalkan bias dalam menilai diri.
Setelah proses belajar berlangsung banyak pihak yang ingin mengetahui, sampai
sejauh apakah pelajaran dapat diserap oleh siswa, siswa mana saja yang
mempunyai kemampuan menyerap yang paling terbelakang dari teman-teman satu
sekolah, sekolah mana saja yang
memberikan proses pembelajaran yang terbaik dan seterusnya. Tolak ukur diharapkan menjadi
masukan dalam proses evaluasi sehingga dapat diketahui sejauh apa melangkah dan
sisi mana yang masih perlu diperbaiki.
Tidak mengherankan jika dalam ujian nasional banyak
kasus dimana kepala sekolah dan para guru memfasilitasi siswanya untuk saling
“berbagi” saat ujian berlangsung. Pihak sekolah ingin konduite sekolahnya bagus, para siswa tidak ingin mengulang satu
tahun lagi. Untuk itu angka kelulusan minimal harus tercapai. Tanpa disadari
oleh pembuat kebijakan standar baku yang ditentukannya menjadi tujuan yang
hendak dicapai oleh sekolah.
Sehingga
muncul pertanyaan apakah evaluasi pendidikan yang terfokus kepada angka sudah
efektif sesuai dengan tujuan pendidikan itu sendiri? Jawabannya bergantung kepada siapa yang
memandang hal ini diimplementasikan. Namun, jika memandang kepada aspek proses
pembelajarannya jawabannya adalah belum
efektif. Hal ini mengingat pendidikan adalah sebuah proses perjalanan pembelajaran,
bukan sebuah hasil angka yang mudah dimanipulasi.
Kontradiksi
Ada
kontradiksi dalam kebijakan pendidikan nasional. Sistem evaluasi pendidikan
nasional di akhir bertentangan dengan proses pembelajaran yang sudah
berlangsung. Ujian nasional yang memetakan perbedaan kualitas pendidikan malah
menjadi alat untuk meningkatkan kualitas pendidikan. Padahal perbedaaan kualitas
pendidikan dan pengetahuan sejak semula ada pada proses pendidikan itu. Oleh karenanya gaya high stakes testing dalam sistem
pendidikan hanya akan mengungkung perkembangan potensi individu. Sekolah akan
mengajarkan bahwa kebenaran ada pada otoritas, guru misalnya. Padahal, pada era
digital seperti sekarang pengetahuan dapat diperoleh dari berbagai sumber.
Inteligensi
tidak lebih dari daya ingat dan kemampuan mengulang. Akurasi ingatan dan
kemampuan mengulang ini yang justru mendapatkan pengakuan. Tak mengherankan,
jika daya analitis dan kemampuan berpikir kritis semakin menurun.
Sekolah
tidak lebih dari pabrik untuk mencetak murid-murid yang mampu melewati ujian
akhir. Karena fokus pada ujian nasional, jumlah jam belajar di kelas sama
lamanya dengan jam belajar di tempat les. Kegiatannya
bukan mencari pengetahuan, melainkan mengulang-ulang soal dan mencari cara
singkat menjawab soal. Siswa pun menjadi cepat bosan, terasing dan merasa frustasi.
Padahal jika ditelisik bahwa
yang terpenting bukanlah siswa dapat menghafal dan memilih jawaban tepat
pada semua pelajaran, tetapi bagaimana
siswa dapat mengintegrasikan pelajaran yang telah dipelajari dalam kehidupan
sehari-hari utuk menciptakan jawaban melalui pengalamannya.
Berpikir instrumental
Proses
belajar tidak lagi menjadi pengalaman yang menyenangkan. Tidak ada lagi
kegembiraan karena mendapatkan pemaknaan dari penyingkapan pengetahuan. Ada
kekosongan dalam proses belajar. Peserta didik menjadi terlatih untuk berpikir
instrumental. Ciri khas berpikir seperti ini adalah melakukan manipulasi agar tujuan
tercapai. Makna pendidikan menjadi terdegradasi. Pendidikan ini dikhawatirkan
semakin jauh dari apa yang pernah digambarkan oleh para pendiri bangsa.
Jika dikatakan pendidikan kita terlalu
menekankan aspek kognitif dimana secara sadar ataupun tidak telah akan
terpantri dalam benak siswa sebuah paradigma belajar yang berorientasi kepada
angka. Siswa akan melakukan apa saja untuk mendapatkan nilai yang bagus asal
mereka lulus. Tidak terkecuali curang dalam ujian nasional. Bahkan kurangnya
aspek spiritual juga benar adanya. Namun, aspek spiritual yang dimaksud
bukanlah gagasan tentang agama, melainkan menciptakan kebaikan bagi kehidupan
bersama, bagi kemajuan komunitasnya.
Ini adalah
sebuah masalah yang besar dalam dunia pendidikan, hal ini akan menjadi fenomena
gunung es yang apabila dibiarkan dan akan menjadi masalah yang komplek dan
besar sehingga akan mempengaruhi kehidupan sosial lainnya. Dimana masyarakat, akan terbiasa mencari
kuantitas daripada kualitas itu sendiri. Pendidikan seharusnya menambah
pengetahuan yang mengarahkan individu untuk mampu berempati, bekerja sama dan
saling melayani dengan individu lain sehingga ketidakadilan dapat terkurangi.
Kesemuanya
itu memupuk fondasi bagi karakter diri yang terbuka. Tidak picik pada perbedaan
dan terbuka pada kemungkinan-kemungkinan baru. Visi kemajuan, inovasi, dan
kreativitas dapat diharapkan dari orang-orang semacam ini. Saat itulah
pendidikan yang memerdekaan mendapatkan makna yang sebenarnya.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar