Memang Ranggawarsito dalam
karya-karyanya tidak secara langsung atau secara spesifik membahas filsafat
sejarah seperti filsuf-filsuf Barat atau filsuf filsuf lainnya, tetapi jika
dicermati lebih lanjut karya-karyanya seperti Serat Paramayoga, Serat Pustakaraja
Purwa, Serat Sabda Jati,Serat Sabdatama, Serat Jaka Lodhang, Serat Wedharaga,
atau Serat Kalatida, di sana tampak begitu kentalnya muatan filsafat sejarah
Ronggowarsito. Seperti halnya pujangga Jawa lainnya, dalam menulis tentang
sejarah Ronggowarsito banyak menulis mengenai sejarah raja-raja atau
orang-orang besar. Mungkin Ronggowarsito termasuk dalam golongan yang
berpendapat bahwa sejarah adalah sejarah raja-raja.
Selain itu Ronggowarsito juga
banyak menuliskan ramalan-ramalan sejarah atau jangka, seperti pujangga dan
raja yang terkenal dengan ramalan atau jangkanya yaitu Jayabaya. Memang
kebanyakan pujangga Jawa dalam menulis sejarahnya biasanya mereka juga membuat
prediksi, mereka memang melihat sejarah bukan semata-mata melihat masa lalu saja,
tetapi juga melihat jauh ke masa depan. Dan hal itu sejalan dengan pendapat
modern yang mengatakan bahwa masa lalu yang kita pelajari melalui sejarah, akan
bermakna jika berguna atau bermanfaat bagi masa depan.
Dari sana banyak kalangan yang
kemudian juga menggolongkan Ronggowarsito sebagai seorang futurolog, dan
filsafat sejarahnya pun bisa juga digolongkan sebagai filsafat sejarah
spekulatif. Bahkan menurut riwayat sebagaimana telah dibahas di atas,
Ronggowarsito bisa memprediksi saat atau waktu kematiannya sendiri, yang ia
tuangkan dalam karyanya Sabda Jati yang ditulisnya delapan hari sebelum
kematiannya. Dan bait terakhir Sabda Jati yang berisi tentang ramalan
kematiaannya sendiri tersebut, adalah sebagai berikut:
pandulune ki Pudjangga dereng
kemput, mulur lir benang tinarik, nanging
kaserang ing umur, andungkup
kasidan djati, mulih sedjatining enggon. Amung kurang wolung ari kang kadulu,
emating pati patitis, wus katon neng lohilmahpul, angumpul ing madya ari,
amarengi ri Buda Pon.
Tanggal kaping lima antaraning
luhur, selaning taun Djimakir, Tolu UmaArjang Djagur, Sengara winduning pati,
netepi ngumpul saenggon.
Tjinitra ri Buda kaping
wolulikur, sawal ing taun Djimakir, tjandraningwarsa pinetung, Nembah Muksa
Pudjangga Dji, Ki pudjangga amit layon
Terjemahannya:
Panglihatan sang pudjangga belum
habis, memandjang seperti benang ditarik, tetapi terserang oleh umur, hampir
sampailah kelepasanja jang sedjati (wafat), pulang ketempat jang sebenarnja.
Hanja kurang delapan hari jang
terlihat, akan nikmatnja pati jang tepat, telah tampak dalam lauhil ma’fuz,
perhitungannja berkumpul ditengah hari, djatuh pada hari Rebo Pon.
Tanggal lima antaranja waktu
dhuhur, bulan ”sela” (Dulka’idah) didalam tahun djimakir, wuku: Tolu, Padewan:
Uma, paringkelan : Arjang, Sangawara: Djagur, windu sangara itulah saat
meninggalnja, perhitunganperhitungan itu terkumpul mendjadi satu.
Tertulis hari Rebo tanggal
duapuluh delapan, sawal tahun Djimakir, angka tahunja terhitung,
Bersembah-pamit mati pujangga Radja (sangkalan jang bermaksud: tahun 1802 Djawa),
ki pudjangga pamit mati ”.
Dan sesuai yang diramalkannya
Ronggowarsito meninggal delapan hari kemudian, tepatnya pada tanggal 24
Desember 1873 dalam usia 71 tahun. Tetapi seperti yang telah dijelaskan
sebelumnya, ada juga yang berpendapat bahwa ia mengetahui hari kematiannya
karena dihukum mati disebabkan permusuhannya dengan raja yang berkuasa dan
pemerintahan Belanda.
Kemampuan memprediksi seperti itu
memang harus dimiliki seorang pujangga seperti Ronggowarsito, karena sebagai
pujangga ia tidak hanya bertugas sebagai seorang penulis tetapi ia juga harus
memiliki kemampuan dan otoritas menangani persoalan-persoalan dunia spiritual,
para pujanggapun kadangkala juga disebut sebagai nujum istana. Dalam ekspresi
aslinya, pujangga seperti Ronggowarsito juga harus memiliki kemampuan
sambegana, kecerdasan dan daya ingat kuat, sertanawangkrida, kemampuan
menangkap dan memahami tanda-tanda alam ataupun zaman yang tidak diketahui oleh
orang awam.
Dalam pemikiran Ronggowarsito
terlihat sekali begitu kentalnya unsur sinkretisme antara ajaran Islam dan
ajaran Hindu-Budha. Hal itu bisa kita lihat pada karya-karya mistik atau
tasawufnya seperti Serat Wirid Hidayat Jati atau karya sejarahnya seperti
Paramayoga. Maka dalam penulisan sejarahnya kita juga akan banyak menemui
mitos-mitos pewayangan, dewa-dewa Hindu, juga kepercayaan Jawa lainnya yang
bercampur dengan sejarah manusia menurut ajaran Islam. Untuk lebih jelasnya
mengenai filsafat sejarah Ronggowarsito saya akan menjabarkannya dengan mengacu
pada beberapa karya utamanya.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar