Selasa, 06 Desember 2016

Pemikiran Ronggowarsito sebagai Filsuf

Memang Ranggawarsito dalam karya-karyanya tidak secara langsung atau secara spesifik membahas filsafat sejarah seperti filsuf-filsuf Barat atau filsuf ­filsuf lainnya, tetapi jika dicermati lebih lanjut karya-karyanya seperti Serat Paramayoga, Serat Pustakaraja Purwa, Serat Sabda Jati,Serat Sabdatama, Serat Jaka Lodhang, Serat Wedharaga, atau Serat Kalatida, di sana tampak begitu kentalnya muatan filsafat sejarah Ronggowarsito. Seperti halnya pujangga Jawa lainnya, dalam menulis tentang sejarah Ronggowarsito banyak menulis mengenai sejarah raja-raja atau orang-orang besar. Mungkin Ronggowarsito termasuk dalam golongan yang berpendapat bahwa sejarah adalah sejarah raja-raja.
Selain itu Ronggowarsito juga banyak menuliskan ramalan-ramalan sejarah atau jangka, seperti pujangga dan raja yang terkenal dengan ramalan atau jangka­nya yaitu Jayabaya. Memang kebanyakan pujangga Jawa dalam menulis sejarahnya biasanya mereka juga membuat prediksi, mereka memang melihat sejarah bukan semata-mata melihat masa lalu saja, tetapi juga melihat jauh ke masa depan. Dan hal itu sejalan dengan pendapat modern yang mengatakan bahwa masa lalu yang kita pelajari melalui sejarah, akan bermakna jika berguna atau bermanfaat bagi masa depan.
Dari sana banyak kalangan yang kemudian juga menggolongkan Ronggowarsito sebagai seorang futurolog, dan filsafat sejarahnya pun bisa juga digolongkan sebagai filsafat sejarah spekulatif. Bahkan menurut riwayat sebagaimana telah dibahas di atas, Ronggowarsito bisa memprediksi saat atau waktu kematiannya sendiri, yang ia tuangkan dalam karyanya Sabda Jati yang ditulisnya delapan hari sebelum kematiannya. Dan bait terakhir Sabda Jati yang berisi tentang ramalan kematiaannya sendiri tersebut, adalah sebagai berikut:
pandulune ki Pudjangga dereng kemput, mulur lir benang tinarik, nanging
kaserang ing umur, andungkup kasidan djati, mulih sedjatining enggon. Amung kurang wolung ari kang kadulu, emating pati patitis, wus katon neng lohilmahpul, angumpul ing madya ari, amarengi ri Buda Pon.
Tanggal kaping lima antaraning luhur, selaning taun Djimakir, Tolu UmaArjang Djagur, Sengara winduning pati, netepi ngumpul saenggon.
Tjinitra ri Buda kaping wolulikur, sawal ing taun Djimakir, tjandraningwarsa pinetung, Nembah Muksa Pudjangga Dji, Ki pudjangga amit layon
Terjemahannya:
Panglihatan sang pudjangga belum habis, memandjang seperti benang ditarik, tetapi terserang oleh umur, hampir sampailah kelepasanja jang sedjati (wafat), pulang ketempat jang sebenarnja.
Hanja kurang delapan hari jang terlihat, akan nikmatnja pati jang tepat, telah tampak dalam lauhil ma’fuz, perhitungannja berkumpul ditengah hari, djatuh pada hari Rebo Pon.
Tanggal lima antaranja waktu dhuhur, bulan ”sela” (Dulka’idah) didalam tahun djimakir, wuku: Tolu, Padewan: Uma, paringkelan : Arjang, Sangawara: Djagur, windu sangara itulah saat meninggalnja, perhitungan­perhitungan itu terkumpul mendjadi satu.
Tertulis hari Rebo tanggal duapuluh delapan, sawal tahun Djimakir, angka tahunja terhitung, Bersembah-pamit mati pujangga Radja (sangkalan jang bermaksud: tahun 1802 Djawa), ki pudjangga pamit mati ”.
Dan sesuai yang diramalkannya Ronggowarsito meninggal delapan hari kemudian, tepatnya pada tanggal 24 Desember 1873 dalam usia 71 tahun. Tetapi seperti yang telah dijelaskan sebelumnya, ada juga yang berpendapat bahwa ia mengetahui hari kematiannya karena dihukum mati disebabkan permusuhannya dengan raja yang berkuasa dan pemerintahan Belanda.
Kemampuan memprediksi seperti itu memang harus dimiliki seorang pujangga seperti Ronggowarsito, karena sebagai pujangga ia tidak hanya bertugas sebagai seorang penulis tetapi ia juga harus memiliki kemampuan dan otoritas menangani persoalan-persoalan dunia spiritual, para pujanggapun kadangkala juga disebut sebagai nujum istana. Dalam ekspresi aslinya, pujangga seperti Ronggowarsito juga harus memiliki kemampuan sambegana, kecerdasan dan daya ingat kuat, sertanawangkrida, kemampuan menangkap dan memahami tanda-tanda alam ataupun zaman yang tidak diketahui oleh orang awam.
Dalam pemikiran Ronggowarsito terlihat sekali begitu kentalnya unsur sinkretisme antara ajaran Islam dan ajaran Hindu-Budha. Hal itu bisa kita lihat pada karya-karya mistik atau tasawufnya seperti Serat Wirid Hidayat Jati atau karya sejarahnya seperti Paramayoga. Maka dalam penulisan sejarahnya kita juga akan banyak menemui mitos-mitos pewayangan, dewa-dewa Hindu, juga kepercayaan Jawa lainnya yang bercampur dengan sejarah manusia menurut ajaran Islam. Untuk lebih jelasnya mengenai filsafat sejarah Ronggowarsito saya akan menjabarkannya dengan mengacu pada beberapa karya utamanya.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar