Minggu, 11 Desember 2016

Fenomenologi Sebagai Aliran Epistimologi



Sebagai tokoh Fenomenologi, Husserl memiliki titik balik metodis dalam menangkap suatu obyek pengertian menurut keaslianya. Dalam hal ini ada tiga macam reduksi yaitu; Reduksi eidetis, Fenomenologis, dan reduksi transcendental.
1)      Reduksi Fenomenologi
Kata Fenomenologi ini berartikan kata atau ucapan, rasio, atau pertimbangan. Dalam arti luas, Fenomenologi berarti ilmu tentang gejala-gejala atau apa saja yang nampak. Dalam arti yang sempit yaitu ilmu yang membicarakan tentang fenomena-fenomena yang menampakkan diri pada kesadaran kita. Selanjutnya untuk menagkap atau mencerna suatu pengertian fenomena dari sebuah obyek dalam wujud yang semurni-murninya, menurut Husserl harus diadakan penyaringan atau reduksi.
Dengan kata lain, Reduksi Fenomenologis dapat ditempuh dengan menyisihkan ( menyaring) pengalaman pengamatan pertama. Pengalaman inderawi itu ditolak, tetapi perlu disisihkan dan disaring terlebih dahulu, sehingga tersingkirlah segala prasangka, pranggapan, prateori, prakonsepsi, baik yang berdasarkan keyakinan tradisional maupun yang berdasarkan agama, bahkan seluruh keyakinan dan pandangan yang telah dimiliki sebelumnya.
Fenomena seperti ini adalah segala sesuatu yang menampakkan diri. Dalam praktik hidup sehari-hari, tidak memperhatikan penampakkan itu, apa yang dilihat secara spontan sudah cukup meyakinkan bahwa objek yang dilihat itu adalah real atau nyata. Kita telah meyakininya sebagai realitas diluar. Akan tetapi, karena yang dituju oleh fenomenologi adalah realitas dalam arti yang ada diluar dirinya, dan ini hanya dapat dicapai dengan “mengalami” secara intuitif, apa yang dianggap sebagai realitas dalam pandangan biasa itu, untuk sementara harus ditinggalkan atau dibuat dalam kurung. Segala subyektifitas disingkirkan. Termasuk di dalam hal ini teori, kebiasaan, dan pandangan yang telah membentuk pikiran memandang sesuatu (fenomena). Sehingga yang timbul di dalam kesadaran adalah fenomena itu sendiri. Oleh karena itu, reduksi ini disebut reduksi fenomenologi yang pertama merupakan pembersih diri dari segala subyektifitas yang dapat mengganggu perjalanan mencapai realitas.
2)      Reduksi Eidetis
Eidetis berasal dari kata “eidos” yaitu intisari. Reduksi Eidetis adalah penyaringan atau penempatan di dalam kurung segala hal yang bukan eidos, intisari atau realitas fenomen. Dengan reduksi eidetis, semua segi, aspek, dan profil dalam fenomena yang  hanya kebetulan disampingkan. Karena, aspek dan profil tidak pernah menggambarkan objek secara utuh. Setiap objek adalah kompleks, mengandung aspek dan profil yang tiada terhingga.
Menurut Husserl, reduksi Eidetis ini dimaksudkan untuk menemukan eidos yang intisarinya atau hakikat fenomena yang tersembunyi. Jadi hasil reduksi kedua adalah pemilikan hakikat. Disinilah kita melihat hakikat sesuatu dan inilah pengertian yang sejati.
Untuk menjelaskan reduksi ini agar mudah dipahami, kita kembali pada pemahaman obyek material yaitu rumah. Sisanya mewujudkan gejala rumah yang tampak pada kita, misalnya besarnya, kokohnya, bahan-bahanya, desainya, dan sebagainya. Hakikat yang dimaksud Husserl bukan dalam arti umum, misalnya manusia hakikatnya adalah mati. Hakikat yang dimaksud adalah mencari struktur fundamental yang meliputi gabungan dari isi fundamental dan semua sifat hakiki dan semua relasi hakiki dengan kesadaran dengan obyek yang disadari.
Hakikat (realitas) yang dicari dalam hal ini adalah struktur dasar yang meluputi isi fundamental dan semua sifat hakiki. Untuk menentukan apakah sifat-sifat tertentu adalah hakikat atau bukan, Husserl memakai prosedur mengubah contoh-contoh. Ia menggambarkan contoh-contoh tertentu yang representatif melukiskan fenomena. Kemudian, dikurangi atau ditambah salah satu sifat. Pengurangan atau penambahan yang tidak mengurangi atau menambah makna fenomena dianggap sifat-sifat yang hakiki.
Reduksi Eidetis menunjukkan bahwa dalam fenomenologi, Kriteria koherasi beralaku. Artinya pengamatan-pengamatan yang beruntun terhadap objek harus dapat disatukan. Pada umumnya, pengikut-pengikutnya menyetujuai idealisme Husserl, hanya sepaham dengan Husserl pada tahap awal dari perkembangan pemikirannya. Pendekatan fenomenologis yang diambil oleh pengikut-pengikutnya tidak termasuk reduksi terakhir yang menimbulkan idealisme transcendental.
3)      Reduksi Transendental
Di dalam reduksi transcendental, ini bukan lagi mengenai, obyek atau fenomena, tetapi khusus pengarahan ke subyek. Mengenai akar-akar kesadaran, yakni mengenai akt-akt kesadaran sendiri yang bersifat transcendental. Fenomenologi harus menggambarkan cara berjalanya kesadaran transcendental, sedangkan reduksi transcendental harus menemukan kesadaran murni dengan menyisihkan kesadaran empiris, sehingga kesadaran diri sendiri tidak lagi berlandaskan pada keterhubungan dengan fenomena lainya. Kesadaran diri yang telah bebas dari kesadaran empiris itu mengetahui seluruh pengalaman, oleh karenaya bersifat transcendental.
Proses reduksi itu apabila disederhanakan dapat disebut sebagai memandang sesuatu secara menyeluruh dari berbagai seginya. Artinya,  tidak dengan mudah menerima pengertian dan rumusan seperti itu, atau pemahaman kita yang sepontan terhadap sesuatu belum tentu menyentuh hakikat dari apa yang akan dituju. Yang demikian hanyalah pandangan pertama. Kemudian harus melakukan pandangan kedua, meninggalkan segala tabir yang menghalangi dalam menemukan hakikat objek, dan kembali kepada objek secara langsung.
Pendekatan fenomenologi ini sangat besar pentingnya di dalam filsafat belakangan ini. Bahkan pendekatan ini, digunakan dalam ilmu pengetahuan, seperti ilmu-ilmu sosial dan matematika. J. F Donceel F. J, misalnya, telah menggunakan pendekatan fenomenologi dalam memahami manusia di dalam bukunya Philosophical Antropology. Roger Garaudy juga menggunakan metode fenomenologi dalam usahanya memahami filsafat, sejarah polotik, kebudayaan-kebudayaan dan agama. [Juhaya S. Pradja, 2000: 121-125].

Tidak ada komentar:

Posting Komentar