Sebagai
tokoh Fenomenologi, Husserl memiliki titik balik metodis dalam menangkap suatu
obyek pengertian menurut keaslianya. Dalam hal ini ada tiga macam reduksi
yaitu; Reduksi eidetis, Fenomenologis, dan reduksi transcendental.
1) Reduksi
Fenomenologi
Kata
Fenomenologi ini berartikan kata atau ucapan, rasio, atau pertimbangan. Dalam
arti luas, Fenomenologi berarti ilmu tentang gejala-gejala atau apa saja yang
nampak. Dalam arti yang sempit yaitu ilmu yang membicarakan tentang
fenomena-fenomena yang menampakkan diri pada kesadaran kita. Selanjutnya untuk
menagkap atau mencerna suatu pengertian fenomena dari sebuah obyek dalam wujud
yang semurni-murninya, menurut Husserl harus diadakan penyaringan atau reduksi.
Dengan kata
lain, Reduksi Fenomenologis dapat ditempuh dengan menyisihkan ( menyaring)
pengalaman pengamatan pertama. Pengalaman inderawi itu ditolak, tetapi perlu
disisihkan dan disaring terlebih dahulu, sehingga tersingkirlah segala
prasangka, pranggapan, prateori, prakonsepsi, baik yang berdasarkan keyakinan
tradisional maupun yang berdasarkan agama, bahkan seluruh keyakinan dan
pandangan yang telah dimiliki sebelumnya.
Fenomena
seperti ini adalah segala sesuatu yang menampakkan diri. Dalam praktik hidup
sehari-hari, tidak memperhatikan penampakkan itu, apa yang dilihat secara
spontan sudah cukup meyakinkan bahwa objek yang dilihat itu adalah real atau
nyata. Kita telah meyakininya sebagai realitas diluar. Akan tetapi, karena yang
dituju oleh fenomenologi adalah realitas dalam arti yang ada diluar dirinya,
dan ini hanya dapat dicapai dengan “mengalami” secara intuitif, apa yang
dianggap sebagai realitas dalam pandangan biasa itu, untuk sementara harus
ditinggalkan atau dibuat dalam kurung. Segala subyektifitas disingkirkan.
Termasuk di dalam hal ini teori, kebiasaan, dan pandangan yang telah membentuk
pikiran memandang sesuatu (fenomena). Sehingga yang timbul di dalam kesadaran
adalah fenomena itu sendiri. Oleh karena itu, reduksi ini disebut reduksi
fenomenologi yang pertama merupakan pembersih diri dari segala subyektifitas
yang dapat mengganggu perjalanan mencapai realitas.
2) Reduksi
Eidetis
Eidetis
berasal dari kata “eidos” yaitu intisari. Reduksi Eidetis adalah
penyaringan atau penempatan di dalam kurung segala hal yang bukan eidos,
intisari atau realitas fenomen. Dengan reduksi eidetis, semua segi, aspek, dan
profil dalam fenomena yang hanya kebetulan disampingkan. Karena, aspek
dan profil tidak pernah menggambarkan objek secara utuh. Setiap objek adalah
kompleks, mengandung aspek dan profil yang tiada terhingga.
Menurut
Husserl, reduksi Eidetis ini dimaksudkan untuk menemukan eidos yang intisarinya
atau hakikat fenomena yang tersembunyi. Jadi hasil reduksi kedua adalah
pemilikan hakikat. Disinilah kita melihat hakikat sesuatu dan inilah pengertian
yang sejati.
Untuk
menjelaskan reduksi ini agar mudah dipahami, kita kembali pada pemahaman obyek
material yaitu rumah. Sisanya mewujudkan gejala rumah yang tampak pada kita,
misalnya besarnya, kokohnya, bahan-bahanya, desainya, dan sebagainya. Hakikat
yang dimaksud Husserl bukan dalam arti umum, misalnya manusia hakikatnya adalah
mati. Hakikat yang dimaksud adalah mencari struktur fundamental yang meliputi
gabungan dari isi fundamental dan semua sifat hakiki dan semua relasi hakiki
dengan kesadaran dengan obyek yang disadari.
Hakikat
(realitas) yang dicari dalam hal ini adalah struktur dasar yang meluputi isi
fundamental dan semua sifat hakiki. Untuk menentukan apakah sifat-sifat
tertentu adalah hakikat atau bukan, Husserl memakai prosedur mengubah
contoh-contoh. Ia menggambarkan contoh-contoh tertentu yang representatif
melukiskan fenomena. Kemudian, dikurangi atau ditambah salah satu sifat.
Pengurangan atau penambahan yang tidak mengurangi atau menambah makna fenomena
dianggap sifat-sifat yang hakiki.
Reduksi
Eidetis menunjukkan bahwa dalam fenomenologi, Kriteria koherasi beralaku.
Artinya pengamatan-pengamatan yang beruntun terhadap objek harus dapat
disatukan. Pada umumnya, pengikut-pengikutnya menyetujuai idealisme Husserl,
hanya sepaham dengan Husserl pada tahap awal dari perkembangan pemikirannya.
Pendekatan fenomenologis yang diambil oleh pengikut-pengikutnya tidak termasuk
reduksi terakhir yang menimbulkan idealisme transcendental.
3) Reduksi
Transendental
Di dalam
reduksi transcendental, ini bukan lagi mengenai, obyek atau fenomena, tetapi
khusus pengarahan ke subyek. Mengenai akar-akar kesadaran, yakni mengenai
akt-akt kesadaran sendiri yang bersifat transcendental. Fenomenologi harus
menggambarkan cara berjalanya kesadaran transcendental, sedangkan reduksi
transcendental harus menemukan kesadaran murni dengan menyisihkan kesadaran
empiris, sehingga kesadaran diri sendiri tidak lagi berlandaskan pada keterhubungan
dengan fenomena lainya. Kesadaran diri yang telah bebas dari kesadaran empiris
itu mengetahui seluruh pengalaman, oleh karenaya bersifat transcendental.
Proses
reduksi itu apabila disederhanakan dapat disebut sebagai memandang sesuatu
secara menyeluruh dari berbagai seginya. Artinya, tidak dengan mudah
menerima pengertian dan rumusan seperti itu, atau pemahaman kita yang sepontan
terhadap sesuatu belum tentu menyentuh hakikat dari apa yang akan dituju. Yang
demikian hanyalah pandangan pertama. Kemudian harus melakukan pandangan kedua,
meninggalkan segala tabir yang menghalangi dalam menemukan hakikat objek, dan
kembali kepada objek secara langsung.
Pendekatan
fenomenologi ini sangat besar pentingnya di dalam filsafat belakangan ini.
Bahkan pendekatan ini, digunakan dalam ilmu pengetahuan, seperti ilmu-ilmu
sosial dan matematika. J. F Donceel F. J, misalnya, telah menggunakan
pendekatan fenomenologi dalam memahami manusia di dalam bukunya Philosophical
Antropology. Roger Garaudy juga menggunakan metode fenomenologi dalam
usahanya memahami filsafat, sejarah polotik, kebudayaan-kebudayaan dan agama.
[Juhaya S. Pradja, 2000: 121-125].
Tidak ada komentar:
Posting Komentar