Perkembangan dan kemajuan ilmu
pengetahuan telah menciptakan berbagai bentuk kemudahan bagi manusia dalam
memenuhi kebutuhan hidupnya. Namun apakah hal itu selalu demikian? Bahwa ilmu
pengetahuan dan teknologinya merupakan berkah dan penyelamat bagi manusia,
terbebas dari kutukan yang membawa malapetaka dan kesengsaraan? Memang dengan
jalan mempelajari teknologi seperti pembuatan bom atom, manusia bisa
memanfaatkan wujudnya sebagai sumber energi bagi keselamatan manusia, tetapi di
pihak lain hal ini bisa juga berakibat sebaliknya, yakni membawa manusia kepada
penciptaan bom atom yang menimbulkan malapetaka.
Menghadapi hal yang demikian, ilmu
pengetahuan yang pada esensinya mempelajari alam sebagaimana adanya, mulai
dipertanyakan untuk apa sebenarnya ilmu itu harus dipergunakan? Untuk menjawab
pertanyaan seperti itu, apakah para ilmuwan harus berpaling ke hakikat moral?
Bahwa ilmu itu berkaitan erat dengan persoalan nilai-nilai moral. Keterkaitan
ilmu dengan nilai-nilai moral (agama) sebenarnya sudah terbantahkan ketika
Copernicus mengemukakan teorinya “bumi yang berputar mengelilingi matahari”
sementara ajaran agama (Kristen) menilai sebaliknya, maka timbulah interaksi
antara ilmu dengan moral yang berkonotasi metafisik, sedangkan di pihak lain,
terdapat keinginan agar ilmu mendasarkan kepada pernyataan-pernyataan yang
terdapat dalam ajaran-ajaran di luar bidang keilmuan, diantaranya agama.
Timbullah konflik yang bersumber
pada penafsiran metafisik ini, yang berkulminasi pada pengadilan inkuisisi
Galileo, yang oleh pengadilan dipaksa untuk mencabut pernyataannya bahwa bumi
berputar mengelilingi matahari. Pengadilan inkuisisi Galileo ini selama kurang
lebih dua setengah abad mempengaruhi proses perkembangan berpikir di Eropa.
Dalam kurun waktu ini, para ilmuwan berjuang untuk menegakkan ilmu berdasarkan
penafsiran alam sebagaimana adanya dengan semboyan “ilmu yang bebas nilai”, setelah
pertarungan itulah ilmuwan mendapatkan kemenangan dengan memperoleh keotonomian
ilmu. Artinya kebebasan dalam melakukan penelitiannya dalam rangka mempelajari
alam sebagaimana adanya.
Setelah ilmu mendapatkan otonomi
yang terbebas dari segenap nilai yang bersifat dogmatis, ilmu dengan leluasa
dapat mengembangkan dirinya baik dalam bentuk abstrak maupun konkret seperti
teknologi. Teknologi tidak diragukan lagi manfaatnya bagi manusia. Kemudian
timbul pertanyaan, bagaimana dengan teknologi yang mengakibatkan proses
dehumanisasi dan kerusakan lingkungan sekitar, apakah ini merupakan masalah
kebudayaan ataukah masalah moral, apabila teknologi itu menimbulkan ekses yang
negatif terhadap masyarakat.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar