Kaitan ilmu dan sistem nilai telah lama menjadi bahan pembahasan para
pemikir antara lain Merton, Popper, Russel, Wilardjo, Slamet Iman Santoso, dan
Suriasumantri (Jujun Suriasumantri, 1996 : 2). Pertanyaan umum yang sering
muncul berkenaan dengan hal tersebut adalah : apakah ilmu itu bebas dari sistem
nilai ? Ataukah sebaliknya, ilmu itu terikat pada sistem nilai ?
Ternyata pertanyaan tersebut tidak mendapatkan jawaban yang sama dari para
ilmuwan apa lagi dari masyarakat luas. Ada dua kelompok ilmuwan yang
masing-masing punya pendirian terhadap masalah tersebut. Kelompok pertama,
kelompok yang memiliki kecenderungan puritan-elitis, menghendaki ilmu harus
bersifat netral terhadap sistem nilai (Keraf dan Dua, 2001: 151). Mereka
berusaha agar ilmu dikembangkan demi ilmu. Menurut mereka tugas ilmuwan adalah
menemukan pengetahuan ilmiah. Ilmu ini selanjutnya dipergunakan untuk apa,
terserah pada yang menggunakannya, ilmuwan tidak ikut campur. Kelompok kedua,
kelompok yang memiliki kecenderungan pragmatis, beranggapan bahwa ilmu
dikembangkan demi mencari dan memperoleh penjelasan tentang berbagai persoalan
dalam alam semesta ini (Keraf dan Dua, 2001: 153). Mereka juga berpendapat
bahwa netralitas ilmu hanya terbatas pada metafisik keilmuan, sedangkan dalam
penggunaannya, bahkan pemilihan objek penelitian, maka kegiatan keilmuan harus
berlandaskan azas-azas moral (Jujun S., 2005 : 235).
Adanya perbedaan pandangan tersebut dapat dipahami dari konteks
perkembangan ilmu. Ada dua konteks berkenaan dengan hal tersebut, yaitu context
of discovery dan context of justification. Kedua konteks ini
merupakan jawaban sekaligus jalan keluar terhadap polemik di atas (Keraf dan
Dua, 2001: 154).
1. Context of Discovery
Yang dimaksud dengan context of discovery adalah konteks di mana
ilmu dikembangkan (Keraf dan Dua, 2001: 154). Tidak dapat dipungkiri bahwa ilmu
ditemukan dan berkembang dalam konteks ruang, waktu, dan situasi tertentu. Ilmu
tidak muncul secara tiba-tiba, ada konteks tertentu yang melatar belakangi
muncul dan berkembangnya ilmu. Tidak bisa disangkal bahwa ilmuwan dalam
melakukan kegiatan ilmiahnya termotivasi oleh keinginan tertentu, baik yang
bersifat personal maupun kolektif, baik untuk penelitian ilmiah murni maupun
untuk memecahkan masalah yang ada dalam kehidupan. Berkenaan dengan motivasi
yang disebutkan terakhir, Rinjin (1997: 10) menyatakan bahwa necessity is
the mother of science, bahwa kebutuhan bisa menjadi ibunya penemuan.
Berdasarkan tinjauan context of discovery dapat dipahami bahwa ilmu tidak
bebas nilai. Bahwa ilmu muncul dan berkembang karena desakan dari nilai-nilai
tertentu.
2. Context of justification
Context of justification adalah konteks pengujian ilmiah
terhadap hasil penelitian dan kegiatan ilmiah (Keraf dan Dua, 2001: 156). Ada
paradigma yang menyatakan bahwa ilmu merupakan kesatuan dari proses, prosedur,
dan produk. Sebagai suatu produk, ilmu merupakan pengetahuan sistematis yang
diperoleh dari aktivitas yang didasarkan pada prosedur-prosedur tertentu. Dalam
hal inilah kebenaran ilmiah merupakan satu-satunya nilai yang harus dijadikan
acuan. Nilai-nilai lain, diluar nilai kebenaran ilmiah harus dikesampingkan.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar