Filsafat bersumber pada pengalaman hidup sehari-hari.
Dengan demikian, filsafat bersifat terbuka kepada semua orang, terutama kepada
mereka yang tidak mau puas dengan kejelasan realitas. Oleh karena senjata utama
filsafat adalah bertanya (mengajukan pertanyaan-pertanyaan), maka dengan bertanya
kita sebetulnya terus mempersoalkan realitas. Pertanyaan biasanya diajukan,
baik kepada kejelasan realitas maupun kepada subjek yang bertanya (mengetahui)
itu sendiri.
Meskipun demikian, tidak semua peristiwa sehari-hari
bisa difilsafatkan. Ada peristiwa tertentu yang dirasakan unik dan bermakna
badi pribadi—hal yang eksistensial—saja yang biasanya difilsafatkan.
Peristiwa-peristiwa unik tersebut antara lain kelahiran, kematian, pernikahan,
penderitaan, pertobatan, rasa terperanjat, penyembuhan, dan sebagainya.
Tiga hal yang mendorong manusia berfilsafat
(bertanya-tanya dan mencari jawaban ultimnya):
1. Kekaguman
Filsafat dipahami sebagai bertanya-tanya disertai rasa
kagum/heran. Beberapa filsuf menggarisbawahi hal ini.
(a) Plato (c. 428–427 BCE)
Orang yan berfilsafat diibaratkan dengan keadaan
perjumpaan dengan (atau menjadi perantara dengan) dewa. Katanya, keadaan heran
membuat seseorang menjadi pening karena telah mengatasi keadaan biasa, dan
mulai berjumpa dengan perspektif orientaso bagi dirinya.
(b) Aristoteles (384 – 322 BCE)
Di dalam segala kegiatan manusia sehari-hari,
filsafat—dengan rasa heran sebagai perangsangnya—menelusuri kembali/terus
bertanya tentang apa-apa yang diambilnya. “Kemampuan untuk mengadakan renungan
filsafat mengangkat manusia di atas martabat dan derajatnya sendiri.”
(c) Immanuel Kant (22 April 1724 – 12 February 1804)
Dengan ucapan yang amat tersohor: “Coelum stellatum
supra me, lex moralis intra me”. Kedua gejala yang paling mengherankan Kant
adalah “langit berbintang-bintang di atasku”, dan “hukum moral dalam hatiku”.
(d) Gabriel Marcel (7 December 1889
– 8 October 1973)
Dengan keheranan/kekaguman seseorang mengambil sikap
menjadikan realitas bukan sebagai fakta tetapi sebagai misteri. Dalam pemahaman
realitas sebagai misteri itulah teruntai indah hubungan I – Thou menjadi reaksi
“kekitaan”.
2. Kesangsian
Terumuskan dalam pertanyaan, “Apakah saya
sungguh-sungguh bisa mengetahui sesuatu?” “Apakah sesuatu yang ku ketahui itu
tidak menipuku?” Kalau saya ditipu oleh panca inderaku, maka keheranan dengan
sendirinya akan gugur.
Di sini bisa disebutkan beberapa contoh:
(a) Agustinus (354 – 430 M)
Dalam ajarannya tentang iluminasi Agustinus menggeluti
dengan serius masalah skeptisisme sebagai aliran pemikiran yang bisa diandalkan
atau tidak. Dan menurut Agustinus, skeptisisme tidak tahan uji. Katanya: “Jika
saya menyangsikan segala sesuatu, tidak dapat saya sangsikan bahwa saya
sangsikan. Memang ada atau terdapat kebenaran-kebenaran yang teguh. Rasio
insani dapat mencapai kebenaran-kebenaran yang tak terubahkan. Hak ini mungkin
terjadi karena kita mengambil bagian di dalam Rasio Ilahi, di mana di dalam
Rasio Ilahi tersebut terdapat kebenaran-kebenaran abadi: kebenaran-kebenaran
yang mutlak dan tak terubahkan. Rasion Ilahi itu menerangi rasio insani. Allah
adalah guru batiniah yang bertempat tinggal di dalam batin kita dan menerangi
roh manusiawi kita dengan kebenaranNya.
(b) Rene Descartes (1596 – 1650 M)
Descartes terkenal sebagai filsuf skeptis yang
berusaha mencari suatu kebenaran yang menjadi fondasi bagi segala pengetahuan.
Menurutnya, kebenaran itu bersifat final, dalam arti kebal terhadap kesangsian.
Untuk mencapai pengetahuan semacam itu ditempuh melalui jalan menyangsikan
segala sesuatu, termasuk hal-hal yang umumnya sudah diangngap sebagai jelas,
seperti dunia material, dimensi kebertubuhanku, dan bahwa Allah ada. Bagi
Descartes, kebenaran yang tidak bisa disangsikan adalah cogito ergo sum
yang artinya “saya berpikir, jadi saya ada”. Kebenaran tunggal ini yang membuat
Descartes mampu memahami realitas secara claro et distincta. Inilah
norma untuk menentukan kebenaran.
3. Kesadaran akan keterbatasan
Di hadapan realitas yang terbatas ini manusia dengan dinamisme
pikirannya berupaya untuk menemukan sesuatu yang tidak terbatas, yakni Realitas
Mutlak. Begitu pula dengan pengalaman-pengalaman yang menggoncangkan eksistensi
manusia, seperti kematian orang yang dicintai, kematian orang-orang yang tidak
berdosa, bahkan kenyataan bahwa suatu ketika kita akan mati.
Karl Jasper (1883 – 1969), misalnya. Di hadapan berbagai
macam ilmu yang juga berbicara mengenai manusia, Jasper tidak menemukan satu
ilmu pun yang berbicara mengenai “aku sebagai subjek”. Proyek pencarian jati
dari “aku sebagai subjek” inilah yang ia sebut sebagai penerangan eksistensi
(existenzerhellung).
Existenzerhellung ini terjadi lewat:
1) Mengatasi dunia yang terbatas
ini. Saya yang sudah terbatas tidak bisa menemukan dunia yang mendasari jati
diriku dalam hal-hal yang terbatas. Apalagi saya tidak bisa melebur diri di
dalam hal-hal yang terbatas.
2) Kemungkinan “penemuan” dunia yang
menjadi dasar keberadaanku bisa mulai dirintis, antara lain lewat komunikasi
yang sejati dengan sesama. Dalam komunikasi sejati di mana tidak ada
kemungkinan saling mengobjekkan, manusia mulai memahami realitas yang lebih
tinggi yang mendasari komunikasi sejati tersebut.
3) Jasper suka dengan idea Agustinus
mengenai esse ad Deum (ke-ada-an manusia itu terarah kepada Allah).
Allah yang hanya bisa diikuti jejak-jejaknya (vestigia Dei) melalui
kesenian, mitologi, simbol-simbol, justru menjadi realitas terakhir yang
mengandung makna bagi eksistensiku. Bagi Jasper, (a) Allah ada atau ketiadaan.
Dan Jasper memilih Allah ada; (b) kalau Allah ada, maka saya bisa berbicara
juga mengenai tuntutan-tuntutan etis yang absolut, yang akhirnya dirancang dan
didasri oleh Allah; (c) dunia mempunyai status yang bersifat sementara di
antara Allah dan manusia.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar