Selasa, 06 Desember 2016

Perkembangan Paham Eudomonisme dan Permasalahan



Setelah kemunculan paham hedonisme, muncullah paham baru, yang tak lain ialah paham “eudomonisme”. Kata eudomonisme ini berasal dari bahasa Yunani (eudaimonia) yang secara harfiah berarti : “mempunyai roh pengawal (demon) yang baik, maksudnya mujur dan beruntung”. Dengan demikian yang pertama – tama, hanya menitik beratkan lagi kedalam keadaan batiniyah, dan yang demikian merujuk pada kata “bahagia”.
Seringkali kita mencari suatu tujuan untuk mencapai suatu tujuan lain lagi. Misalnya, ketika sedang sakit kita minum obat untuk bisa tidur dan kita tidur untuk memulihkan kesehatan. Timbullah pertanyaan, apakah ada juga tujuan yang dikejar karena dirinya sendiri dan bukan karena sesuatu yang lain lagi, apakah ada kebaikan terakhir yang tidak dicari demi sesuatu yang lain lagi, apakah ada kebaikan terakhir yang tidak dicari demi sesuatu yang lain lagi. Menurut Aristoteles, semua orang akan menyetujui bahwa tujuan tertinggi ini dalam terminologi modern kita bisa mengatakan : “makna terakhir hidup manusia adalah kebahagiaan (eudaimonia)”.
Orang yang telah mencapai tingkatan “eudemonia” mempunyai keinsyafan akan kepuasan yang sempurna tidak hanya secara jasmani, melainkan juga secara rohani. Seperti halnya hedonisme, sesungguhnya eudomonisme hendak bertolak dari pengalaman, dan berpendapat bahwa menurut kodratnya manusia mengusahakan kebahagiaan, serta memandang hal tersebut adalah suatu hal yang baik. Dengan demikian paham ini menyatakan kebahagiaan sebagai kebaikan tertinggi. Eudemonisme merupakan salah satu diantara sistem – sistem etika yang paling tersebar luas. Aristoteles tegas – tegas menetapkan kebahagiaan sebagai tujuan perbuatan manusia. Paham ini dapat mengambil berbagai bentuk, demikian ada juga eudomonisme keagamaan, yang mengajarkan agar manusia mempersatukan diri dengan Tuhan demi kebahagiaan tersebut. Secara bersahaja hal ini terungkap dalam syair pendek guratan pena Van Alphen, yang berbunyi :
Aku seorang putra
Oleh Tuhan dicinta
Dan diciptakan ‘tuk bahagia
Paham ini mempunyai keyakinan, bahwasanya manusia hidup didunia ini untuk bahagia. Dan dalam kenyataannya, paham ini dianut oleh banyak sekali orang. Menurut Aristoteles, semua orang akan menyetujui bahwa tujuan tertinggi ini dalam terminologi modern kita bisa mengatakan kembali seperti pemaparan di atas : “makna terakhir hidup manusia adalah kebahagiaan (eudaimonia)”.
Ada yang mengatakan, bahwa kesenangan adalah kebahagiaan, ada yang berpendapat, bahwa uang dan kekayaan adalah inti kebahagiaan dan ada pula yang menganggap status sosial atau nama baik sebagai kebahagiaan. Akan tetapi, ada juga yang mengatakan bahwa kita akan merasa bahagia walaupun tidak memiliki harta yang banyak, walaupun kondisi diluar tidak sesuai dengan keinginan kita. Semua itu tidak akan mengganggu, karena kita tidak menempatkan kebahagiaan disana. Karena kebahagiaan yang hakiki terletak didalam diri kita sendiri. Inti kebahagiaan ada pada pikiran kita. Ubahlah cara kita berpikir dan kita akan segera mendapatkan kebahagiaan dan ketentraman batin.
Dalam hal ini, barang siapa yang menjadikan kebahagiaan sebagai tujuan hidupnya, maka seperti halnya kaum hedonis, yaitu menjadikan dirinya tergantung pada keadaan, yang hanya sebagian kecil yang dapat dikuasainya.Disamping itu, ada beberapa kenyataan bahwa mereka yang mencari kebahagiaan justru tidak menemukannya.
Selanjutnya ada hal yang menarik, bahwasanya manusia acap kali tidak hanya mengusahakan kebahagiaan, melainkan jelas – jelas mengusahakan tujuan – tujuan yang sama sekali berlainan, bahkan dengan menderita nestapa. Tetapi juga tidak jarang terjadi, nestapa itu diterimanya sebagai sarana untuk mencapai tujuan hidup yang sebenarnya.
Paham eudomonisme melupakan bahwa moral mengabaikan adanya hubungan dengan sesama manusia. Paham ini hanya mengenal orang – seorang, dalam hal ini akunya sendiri, dan dengan demikian paling – paling mengenal wajib – wajib terhadap diri sendiri dan dalam kenyataannya lazimnya sesuai dengan egoisme.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar