Setelah
kemunculan paham hedonisme, muncullah paham baru, yang tak lain ialah paham
“eudomonisme”. Kata eudomonisme ini berasal dari bahasa Yunani (eudaimonia)
yang secara harfiah berarti : “mempunyai roh pengawal (demon) yang baik, maksudnya
mujur dan beruntung”. Dengan demikian yang pertama – tama, hanya menitik
beratkan lagi kedalam keadaan batiniyah, dan yang demikian merujuk pada kata
“bahagia”.
Seringkali
kita mencari suatu tujuan untuk mencapai suatu tujuan lain lagi. Misalnya,
ketika sedang sakit kita minum obat untuk bisa tidur dan kita tidur untuk
memulihkan kesehatan. Timbullah pertanyaan, apakah ada juga tujuan yang dikejar
karena dirinya sendiri dan bukan karena sesuatu yang lain lagi, apakah ada
kebaikan terakhir yang tidak dicari demi sesuatu yang lain lagi, apakah ada
kebaikan terakhir yang tidak dicari demi sesuatu yang lain lagi. Menurut
Aristoteles, semua orang akan menyetujui bahwa tujuan tertinggi ini dalam
terminologi modern kita bisa mengatakan : “makna terakhir hidup manusia adalah
kebahagiaan (eudaimonia)”.
Orang yang
telah mencapai tingkatan “eudemonia” mempunyai keinsyafan akan kepuasan yang
sempurna tidak hanya secara jasmani, melainkan juga secara rohani. Seperti
halnya hedonisme, sesungguhnya eudomonisme hendak bertolak dari pengalaman, dan
berpendapat bahwa menurut kodratnya manusia mengusahakan kebahagiaan, serta
memandang hal tersebut adalah suatu hal yang baik. Dengan demikian paham ini
menyatakan kebahagiaan sebagai kebaikan tertinggi. Eudemonisme merupakan salah
satu diantara sistem – sistem etika yang paling tersebar luas. Aristoteles
tegas – tegas menetapkan kebahagiaan sebagai tujuan perbuatan manusia. Paham
ini dapat mengambil berbagai bentuk, demikian ada juga eudomonisme keagamaan,
yang mengajarkan agar manusia mempersatukan diri dengan Tuhan demi kebahagiaan
tersebut. Secara bersahaja hal ini terungkap dalam syair pendek guratan pena
Van Alphen, yang berbunyi :
Aku seorang putra
Oleh Tuhan dicinta
Dan diciptakan ‘tuk bahagia
Paham ini
mempunyai keyakinan, bahwasanya manusia hidup didunia ini untuk bahagia. Dan
dalam kenyataannya, paham ini dianut oleh banyak sekali orang. Menurut
Aristoteles, semua orang akan menyetujui bahwa tujuan tertinggi ini dalam
terminologi modern kita bisa mengatakan kembali seperti pemaparan di atas :
“makna terakhir hidup manusia adalah kebahagiaan (eudaimonia)”.
Ada yang
mengatakan, bahwa kesenangan adalah kebahagiaan, ada yang berpendapat, bahwa
uang dan kekayaan adalah inti kebahagiaan dan ada pula yang menganggap status
sosial atau nama baik sebagai kebahagiaan. Akan tetapi, ada juga yang
mengatakan bahwa kita akan merasa bahagia walaupun tidak memiliki harta yang
banyak, walaupun kondisi diluar tidak sesuai dengan keinginan kita. Semua itu
tidak akan mengganggu, karena kita tidak menempatkan kebahagiaan disana. Karena
kebahagiaan yang hakiki terletak didalam diri kita sendiri. Inti kebahagiaan
ada pada pikiran kita. Ubahlah cara kita berpikir dan kita akan segera
mendapatkan kebahagiaan dan ketentraman batin.
Dalam hal ini,
barang siapa yang menjadikan kebahagiaan sebagai tujuan hidupnya, maka seperti
halnya kaum hedonis, yaitu menjadikan dirinya tergantung pada keadaan, yang
hanya sebagian kecil yang dapat dikuasainya.Disamping itu, ada beberapa
kenyataan bahwa mereka yang mencari kebahagiaan justru tidak menemukannya.
Selanjutnya ada hal yang menarik,
bahwasanya manusia acap kali tidak hanya mengusahakan kebahagiaan, melainkan
jelas – jelas mengusahakan tujuan – tujuan yang sama sekali berlainan, bahkan
dengan menderita nestapa. Tetapi juga tidak jarang terjadi, nestapa itu
diterimanya sebagai sarana untuk mencapai tujuan hidup yang sebenarnya.
Paham
eudomonisme melupakan bahwa moral mengabaikan adanya hubungan dengan sesama
manusia. Paham ini hanya mengenal orang – seorang, dalam hal ini akunya
sendiri, dan dengan demikian paling – paling mengenal wajib – wajib terhadap
diri sendiri dan dalam kenyataannya lazimnya sesuai dengan egoisme.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar