Cerminan banget ini bagi seluruh perempuan muslimah. So enjoy for reading..
Sesungguhnya wanita adalah wujud nyata
keindahan yang mengagumkan. Dialah perhiasan yang sangat indah dipandang mata
dan menawan hati orang yang melihatnya. Banyak lelaki yang terbuai karenanya
dan tidak sedikit pula lelaki yang naik derajatnya karena ketulusan dan
kelambutan hatinya.
1. Halimah
Sa’diyah
Sebuah
tangis bayi yang baru lahir terdengar dari sebuah rumah di kampung Bani Hasyim
di Mekkah pada 12 Rabi’ul Awwal 571 M. Bayi itu lahir dari rahim Amin dan
langsung dibopong seorang “bidan” bernama Syifa’, ibunda Abdurrahman bin Auf.
“Bayimu laki-laki!” Ucap Syifa’.
Aminah tersenyum lega mendengar perkataan itu. Tetapi,
seketika dia teringat kepada mendiang suaminya, Abdullah bin Abu Muthalib, yang
telah meninggal 6 bulan sebelumnya. Sang suami hanya meninggalkan sebuah rumah
dan seorang budak, Barakah Al-Habsyiyah yang lebih dikenal dengan nama Ummu
Aiman.
Sudah menjadi kebiasaan bangsawan Arab waktu itu, bayi yang
dilahirkan akan disusukan kepada wanita lain. Khususnya, kepada wanita dusun,
supaya si bayi bisa hidup di alam yang segar dan mempelajari bahasa Arab yang
baku.
Aminah menyusui sendiri Muhammad kecil selama tiga hari
sambil menunggu wanita yang mau menyusui bayinya. Lalu dilanjutkan oleh
Tsuwaibah, budah Abu Lahab, paman Nabi Muhammad, yang langsung dimerdekakan
karena menyampaikan kabar gembira atas kelahiran Nabi, sebagai ungkapan rasa
senang Abu Lahab.
Nabi Muhammad yang masih bayi ditawarkan kepada murdi’at
(wanita penusu) dari Bani Sa’ad yang sengaja datang ke Makkah untuk mencari
bayi-bayi yang masih menyusu dengan harapan akan mendapat bayaran dan hadiah.
Namun, mereka menolak karena Rasulullah Saw adalah anak yatim. Saat itu,
Halimah Sa’diyah tidak mendapatkan seorang bayi yang akan disusui. Oleh karena
itu, agar pulang tanpa tangan hampa, dia mengambil Rasulullah Saw yang yatim
itu sebagai anak susuannya.
Keberadaan Muhammad kecil memberi berkah kepada keluarga
Haliah, bahkan bagi kabilahnya. Setelah 2 tahun, Halimah membawa Muhammad kecil
mengunjungi ibunya. Karena sadar bahwa keberadaan Muhammad kecil memberi berkah
kepada kampunya, Halimah memohon kepada Aminah agar Muhammad kecil diizinkan
tinggal kembali bersama Bani Sa’ad. Aminah pun menyetujuinya.
Semenjak mengasuh Muhammad kecil, rezeki Halimah semakin melimpah.
Kehidupan rumah tangganya juga berubah total. Perubahan itu menjadi buah bibir
di kampungnya. Mereka melihat, keluarga yang tadinya miskin itu sekarang hidup
penuh kedamaian, kegemabiraan, dan serba kecukupan. Domba-domba yang mereka
pelihara menjadi gemuk dan semakin banyak air susunya, walaupun rumput di
daerah mereka gersang.
Peternakan domba milik Halimah berkemabang pesat, sementara
domba-domba milik tetangga mereka tetap saja kurus kering. Padahal, rumput yang
dimakan sama. Karena itulah, mereka menyuruh anak-anak menggembalakan
domba-domba mereka di dekat domba-domba milik Halimah. Namun, hasilnya masih
sama, domba para tetangga itu tetap kurus kering.
Selama diasuh oleh Halimah, Muhammad kecil tidak pernah
meminta makanan. Diberi atau tidak diberi makan, baliau tidak minta. Tidak
seperti anak-anak lainnya yang jika lapar akan meminta makan. Selain itu, saat
mengambil Rasulullah Saw. Sebagai anak susuan, air susu Halimah bertambah
banyak. Ia pun heran. Sebab, selama ini air susunya hanya keluar sedikit.
Namun, semenjak menyusui Muhammad, air susunya berlimpah.
Anehnya lagi, ketika sudah menyusu di susu sebelah dan
hendak diberi sebelah yang lain, Nabi Muhammad tutup mulut kuat-kuat. Halimah
paham terhadap tingkah bayi Muhammad, yaitu agar susu yang sebelahnya lagi
untuk saudaranya, Damrah. Inilah satu bukti bahwa Allah Swt sudah
menganugerahkan sifat keadilan pada Rasulullah Saw sejak kecil. Rasul tidak mau
mengambil bagian yang bukan untuknya. Rasulullah pun tidak pernah menangis,
tidak seperti anak kecil lainnya.
Ketika Muhammad diserahkan kembali kepada kerabatnya,
Halimah tidak tahu selanjutnya apa yang terjadi pada Rasulullah. Karena, untuk
memperoleh informasi di zaman itu sangatlah susah. Ketika Muhammad berumur 40
tahun, terdengar berita oleh Halimah, bahwa anak susuannya menjadi rasul.
Meski begitu, untuk berjumpa dengan Rasulullah Saw tidaklah
mudah. Berulang kali kerinduan Halimah pada anak susuannya itu gagal terwujud.
Ia sedih dan menangis karena tidak kuasa memendam rindu. Halimah sendiri pada
akhirnya memeluk Islam di tangan orang lain, bukan melalui Rasulullah. Tapi,
pada akhirnya Halimah dapat berjumpa dengan Rasulullah Saw. Halimah pun
merasakan kebahagiaan yang luar biasa. Selepas itu, Halimah pun meninggal
dunia. itulah terakhir kalinya dia berjumpa dengan Rasulullah.
2. Ummu Sulaim Al-Ghumaisha Binti Milhan
Pada zaman Rasulullah Saw, hidupalah
seorang wanita yang cantik, cerdas, dan berrakhlak mulia. Dia adalah Ummu
Sulaim, yang bernama lengkap Ummu Sulaim binti Malhan bin Khalid bin Zaid bin
Hiram bin Jundab bin Amir bin Ghanam bin Adi bin Al-Najar Al-Anshariyah
Al-Khazrajiyah.
Berkat sifat-sifatnya yang agung, Ummu Sulaim dilamar Malik
bin Nadhar. Buah pernikahan keduanya lahirlah seorang anak bernama Anas bin
Malik. Ummu Sulaim termasuk orang yang masuk Islam dari kalangan Anshar. Dengan
poenuh keyakinan, Ummu Sulaim meninggalkan kebiasaan orang Jahiliyah :
menyembah berhala.
Tak mudah bagi Ummu Sulaim untuk memeluk Islam. Suaminya
adalah orang yang pertama menghadang laju keimanannya. Malik sangat marah
begitu mengetahui istrinya telah masuk Islam. “Apakah engkau telah musyrik?”
tanya Malik.
Ummu Sulaim menjawab dengan penuh keyakinan dan keteguhan,
“Aku tidak musyrik, tetapi aku telah beriman.”
Ummu Sulaim membimbing anaknya, Anas bin Malik, untuk
mengucapkan dua kalimat syahadat. “Katakanlah, ‘Asyhadu an laa ilaaha illallah
wa asyhadu anna Muhammadar rasuulullaah.”
Anas
pun membaca syahadat sebagaimana yang diajarkan oleh ibunya. Melihat hal itu,
suaminya, Malik, berkata kepada Ummu Sulaim, “Jangan merusak anakku!”
Ummu Sulaim menjawab, “Sesungguhnya aku tidak merusaknya,
akan tetapi aku mengajari dan membimbingnya.”
Suatu ketika, Malik pergi menuju Syam. Di dalam perjalanan,
ia bertemu dengan musuhnya dan mati terbunuh. Mendengar kematian suaminya, Ummu
Sulaim berkata, “Aku tidak akan memberi Anas makanan sampai ia meninggalkan
susuku (ASI).
Ummu Sulaim menyerahkan putra kesayangannya, Anas, sebagai
pelayan Rasul. Rasulullah Saw pun menyambutnya dengan bahagia sehingga kedua
mata Ummu Sulaim nampak berbinar karena bahagia. Orang-orang pun
memperbincangkan Anas bin malik dan ibunya dengan penuh kekaguman dan
penghormatan. Kemuliaan dan kebaikan Ummu Sulaim terdengar di telinga Abu
thalhah, seorang hartawan di zaman itu.
Dengan penuh cinta dan kekaguman, Abu Thalhah berusaha
meminang Ummu Sulaim. Abu Thalhah pun melamar Ummu Sulaim dengan mahar yang
maha sekali. Akan tetapi, lamaran itu ditolak Ummu Sulaim lantaran Abu Thalhah
belum masuk Islam. “Tidak sepantasnya aku menikah dengan seorang musyrik.
Tidakkah engkau mengetahui wahai Abu Thalhah, bahwa sesembahan kalian itu
diukir oleh seorang hamba dari keluarga si Fulan. Sesungguhnya bila kalian
menyalakan api padanya, pastiah api itu akan membakarnya,” Ucap Ummu Sulaim.
Mendengar
perkataan Ummu Sulaim, dada Thalhah seakan terasa terhimpit. Ia pun pergi dan
hampir tidak percaya dengan apa yang ia dengar. Namun, cintanya yang tulus
membuat Thalhah kembali datang dengan mahar yang paling istimewa, dengan
harapan Ummu Sulaim bisa luluh dan mau menerimanya.
Ummu Sulaim tidak sialu dengan harta, kehormatan, dan
kegagahan. Kemudian ia berkata dengan santun, “Tidak pantas orang sepertimu
ditolak wahai Abu Thalhah. Akan tetapi, engkau seorang kafir, sedangkan aku
muslimah yang tidak pantas menikah denganmu.”
Lalu Abu Thalhah berkata, “Itu bukan kebiasaanmu.” Ummu Sulaim
bertanya, “Apa kebiasaanku?” Abu Thalahah menjawab, “Emas dan perak.”
Ummu Sulaim berucap, “Sesungguhnya aku tidak menginginkan
emas dan perak, tetapi yang aku inginkan dari dirimu adalah kau mau masuk
Islam.”
Abu Thalhah lalu bertanya, “Siapakah orang yang akan membimbingku untuk hal itu?”
Ummu Sulaim berujar, “Yang akan mengenalkan hal itu adalah Rasulullah Saw.”
Abu Thalhah lalu bertanya, “Siapakah orang yang akan membimbingku untuk hal itu?”
Ummu Sulaim berujar, “Yang akan mengenalkan hal itu adalah Rasulullah Saw.”
Kemudian Abu Thalhah pergi menemui Nabi Saw. Ketika itu,
Rasul sedang duduk bersama para sahabat. Saat melihat Abu Thalhah, Nabi
Muhammad Saw bersabda, “Telah datang kepada kalian Abu Thalhah yang nampak dari
kedua bola matanya semangat keislaman.”
Lalu Abu Thalhah datang dan mengabarkan apa yang telah
dikatakan oleh Ummu Sulaim terhadapnya. Abu Thalhah pun akhirnya menikahi Ummu
Sulaim dengan mahar yang telah dipersyaratkan, yakni Islam. Sebagai istri, Ummu
Sulaim sangat berbakti kepada Abu Thalhah. Dalam satu riwayat, ketika anak Abu
Thalhah dari Ummu Sulaim meninggal dunia, Ummu Sulaim berkata kepada
keluarganya, “jangan kalian ceritakan kepada Abu Thalhah perihal kematian
anaknya. Biar aku sendiri yang akan bercerita kepadanya.”
Ketika Abu Thalhah datang, Ummu Sulaim menghidangkan makanan
kepadanya. Setelah Abu Thalhah makan dan minum dengan puas, Ummu Sulaim pergi
ke kamar untuk bersolek secantik mungkin. Syahwat Abu Thalhah pun bangkit
sehingga di mengajak istrinya melakukan hubungan intim.
Setelah melihat Abu Thalhah kenyang dan kebutuhan
biologisnya terpuaskan, Ummu Sulaim mulai berkata, “Wahai Abu Thalhah,
bagaimana menurutmu jika ada satu kaum meminjamkan barangnya kepada suatu
keluarga, kemudian mereka meminta kembali barang yang dipinjamkan itu? Apakah
keluarga tersebut berhak menolaknya?”
Abu Thalhah menjawab, “Tidak.” Ummu Sulaim pun berkata, “Kalau begitu, tabahkanlah hatimu dengan kematian anakmu.”
Abu Thalhah menjawab, “Tidak.” Ummu Sulaim pun berkata, “Kalau begitu, tabahkanlah hatimu dengan kematian anakmu.”
Mendengar ucapan Ummu Sulaim, Abu Thalhah marah, lalu ia
berkata, “Kamu membiarkanku menikmati pelayananmu, kemudian baru kamu beritahukan
kepadaku tentang anakku.” Abu Thalhah pergi menemui Rasulullah Saw dan
menceritakan apa yang telah terjadi. Nabi bersabda, “Mudah-mudahan Allah
memberi berkah pada malam yang telah kalian lewati dengan manis itu.”
3. Fatimah Al-Zahra
Fatimah
Al-Zahra adalah sosok wanita mulia, putri Nabi Muhammad Saw. Seperti halnya
wanita pada umumnya, Fatimah juga merasakan indahnya cinta. Cerita Cinta
Fatimah Al-Zahra dengan Ali bin Abi Thalib termasuk kisah paling romantis dalam
sejarah Islam. Mereka berdua adalah teman bermain semasa kecil.
Suatu hari, Ali tersentak kaget saat mendengar kabar yang
mengejutkan, bahwa Fatimah dilamar seorang lelaki yang paling akrab dan paling
dekat kedudukannya dengan Nabi Muhammad Saw. Lelaki yang membela Islam dengan
harta dan jiwanya sejak awal-awal risalah. Lelaki yang iman dan akhlaknya tak
diragukan, yaitu Abu Bakar Al-Shiddiq.
Semua pasti mengenal Abu Bakar. Selain menjadi kawan
perjalanan Nabi dalam hijrah, begitu banyak budak yang telah dibebaskan
olehnya. Itu artinya Abu Bakar adalah sosok yang kaya pada saat itu.
Sementara Ali hanya pemuda miskin dari keluarga miskin. karena alasan itulah,
Ali bergumam dalam hati, “Aku mengutamakan Abu Bakar atas diriku. Aku
mengutamakan kebahagiaan Fatimah atas cintaku.”
Cinta tidak pernah meminta untuk menanti. Ia mengambil
kesempatan atau mempersilakan. Rupanya lamaran Abu Bakar ditolak. Ali pun terus
menjaga semangatnya untuk mempersiapkan diri melamar sang pujaan hati. Namun,
ternyata ujian cinta Ali belum berakhir. Setelah Abu Bakar mundur, datanglah
melamar Fatimah seorang laki-laki lain yang gagah dan perkasa. Seorang lelaki
yang sejak masuk Islamnya membuat kaum muslimin berani tegak mengangkat muka.
Seorang laki-laki yang membuat setan berari takut dan musuh-musuh Allah
bertekuk lutut. Dialah Umar bin Khattab. Umar adalah lelaki pemberani.
Sekali lagi Ali sadar. Mungkin, jika dinilai dalam pandangan
orang banyak, dia dianggap pemuda yang belum siap menikah. Apalagi menikahi
Fatimah binti Rasulullah. Tapi, takdir berkata lain. Lamaran Umar juga ditolak.
Maka, dengan pertimbangan yang matang, Ali pun memberanikan diri melamar putri
Nabi. Disampaikanlah keinginannya untuk menikahi Fatimah. Ia tahu, secara
ekonomi tak ada yang menjanjikan pada dirinya. Hanya ada satu baju besi dan
persediaan tepung kasar di rumahnya untuk makan. Ali pun menikahi Fatimah
dengan cara menggadaikan baju besinya. Juga dengan keberanian untuk
mengorbankan cintanya bagi Abu Bakar dan Umar bin Khattab. Dengan keberaniannya
ini, Ali pantas disebut gentleman sejati. Tidak heran kalau pemuda Arab
memiliki yel, “Laa fatan illaa ‘Aliyyan!” yang artinya “Tak ada pemuda kecuali
Ali!”
Inilah jalan cinta para pejuang. Jalan yang mempertemukan
cinta dan semua perasaan dengan tanggung jawab. Dalam suatu riwayat dikisahkan
bahwa suatu hari setelah mereka menikah, Fatimah berkata kepada Ali, “Maafkan
aku, karena sebelum menikah denganmu aku pernah satu kali jatuh cinta pada
seseorang pemuda.”
Ali
terkejut, kemudian berkata, “Kalau begitu, mengapa engkau mau menikah denganku?
Siapakah pemuda itu?” Sambil tersenyum, Fatimah berkata, “Ya, karena pemuda itu
adalah dirimu.”
Mereka mengarungi bahtera rumah tangga dengan penuh cinta.
Cinta mereka tanpa syarat. Syarat yang mereka bangun adalah mengedepankan cinta
kepada Allah dan Rasul-Nya. Hari-hari mereka lalui. Pahit getir dan kekurangan
mereka rasakan bersama. Tidak heran bila kadang mereka merasakan lapar karena
suatu hari tidak ada yang bisa dimakan.
Pernah
suatu hari, seperti biasa Fatimah menunggu Ali pulang. Sesudah melepas lelah,
Ali berkata kepada Fatimah, “Maaf sayangku, kali ini aku tidak membawa uang
sepeserpun.” Fatimah menyahut sambil tersenyum, “Memang yang mengatur rezeki
tidak duduk di pasar, bukan? Yang memiliki kuasa itu adalah Allah Swt.”
“Terima kasih,” Jawab Ali. Matanya memberat lantaran istrinya begitu tawakal, padahal, keperluan dapur sudah habis sama sekali. Namun, Fatimah tidak menunjukkan sikap kecewa atau sedih.
“Terima kasih,” Jawab Ali. Matanya memberat lantaran istrinya begitu tawakal, padahal, keperluan dapur sudah habis sama sekali. Namun, Fatimah tidak menunjukkan sikap kecewa atau sedih.
Ali lalu berangkat ke masjid untuk menjalankan salat berjamaah.
Sepulang dari shalat, di jalan ia dihentikan oleh seorang lelaki tua. “Maaf
anak muda, betulkah engkau Ali anaknya Abu Thalib?” Ali menjawab, “Ya betul,
Ada apa, Tuan?”
Orang tua itu mencari sesuatu ke dalam tasnya, lalu berkata, “Dahulu ayahmu pernah kusuruh menyamak kulit. Aku belum sempat membayar upahnya, tapi ayahmu sudah meninggal. Jadi, terimalah uang ini, sebab engkaulah ahli warisnya.”
Orang tua itu mencari sesuatu ke dalam tasnya, lalu berkata, “Dahulu ayahmu pernah kusuruh menyamak kulit. Aku belum sempat membayar upahnya, tapi ayahmu sudah meninggal. Jadi, terimalah uang ini, sebab engkaulah ahli warisnya.”
Dengan gembira Ali mengambil haknya dari orang itu sebanyak
30 dinar. Tentu saja Fatimah sangat gembira memperoleh rezeki yang tidak
disangka-sangka ketika Ali menceritakan kejadian itu. Fatimah meminta Ali
membelanjakan semuanya agar tidak pusing-pusing lagi merisaukan keperluan
sehari-hari. Ali pun bergegas berangkat ke pasar. Sebelum masuk ke dalam pasar,
ia melihat seorang miskin menadahkan tangan dan berkata, “Siapa yang mau
mengutangkan hartanya karena Allah, bersedekahlah kepada saya, seorang musafir
yang kehabisan bekal di perjalanan.”
Tanpa berfikir panjang, Ali memberikan seluruh uangnya kepada orang itu. Pada waktu Ali pulang, Fatimah merasa heran melihat suaminya tidak membawa apa-apa. Ali menerangkan peristiwa yang baru saja dialaminya. Fatimah tersenyum, lalu berkata, “Aku juga akan melakukan hal yang sama seandainya aku mengalaminya. Lebih baik kita mengutamakan harta karena Allah dari pada bersifat bakhil dan dimurkai-Nya, sehingga Allah akan menutup pintu surga untuk kita.”
Tanpa berfikir panjang, Ali memberikan seluruh uangnya kepada orang itu. Pada waktu Ali pulang, Fatimah merasa heran melihat suaminya tidak membawa apa-apa. Ali menerangkan peristiwa yang baru saja dialaminya. Fatimah tersenyum, lalu berkata, “Aku juga akan melakukan hal yang sama seandainya aku mengalaminya. Lebih baik kita mengutamakan harta karena Allah dari pada bersifat bakhil dan dimurkai-Nya, sehingga Allah akan menutup pintu surga untuk kita.”
4. Zainab Al-kubra
Zainab
Al-kubra adalah putri Fatimah Al-Zahra dan Ali bin Abi thalib, cucu dari
Rasulullah Saw. Kelahirannya menjadi penawar kesedihan hati Rasul, yang
sebelumnya telah kehilangan putri tertuanya, yang juga bernama zainab. Sebagai
rasa syukur, Rasul menjuluki cucunya “Al-Kubra” (yang agung), sehingga di
kemudian hari ia dikenal dengan nama Zainah Al-Kubra.
Zainah Al-Kubra mewarisi keberanian, kepahlawanan, dan
kefasihan berbicara dari ayahnya, Ali bin Abi Thalib, serta kebajikan,
kelembutan, dan pengorbanan dari ibunya Fatimah Al-Zahra. Sementara dua kakak
lelakinya, Hasan dan Husein, mendapat gelar dari Rasulullah Saw sebagai
pemimpin para pemuda ahli surga.
Seperti ayahnya, Zainab Al-Kubra juga dikenal suka belajar
dan mencintai ilmu. Oleh karena itu, pengetahuannya dalam ilmu dan makrifat
cukup mendalam. Berkat kecerdasannya itu pula, ia dijuluki “Aqilah Bani Hasyim”
(Wanita cerdas dari Bani Hasyim).
Menjelang dewasa, Zainab menyaksiakan sebuah tragedi, yaitu ketika Husein, kakaknya, gugur dalam perang Karbala. Jauh sebelum terjadinya peristiwa itu, Allah Swt sudah mengisyaratkan nasih Zainab kepada kakeknya, Rasulullah Saw. Pada suatu hari, Rasulullah Saw sering menciumi wajah mungil si kecil Zainab dengan isak tangis tertahan dan linangan air mata. Terbayang oleh Rasulullah Saw penderitaan cucu tercintanya itu.
Sejak kecil Zainab mendapat pendidikan langsung dalam
menghadapi kesusuahan. Ia menyaksiakan langsung perjuangan ibunya yang
dengan setia berada di samping sang kakek, Rasulullah Saw. Waktu itu, Zainab
melihat para sahabat menyampaikan penghormatan terakhir kepada Rasulullah
secara bergiliran. Zainab juga melihat orang-orang menggali sebuah lubang di
kamar Aisyah, neneknya. Gundukan tanah galian itu menumpuk di kiri dan kanan
lubang itu, hingga sebagian butirannya mengenai baju Zainab.
Tidak lama kemudian, Zainab melihat ayahnya dibantu oleh dua sahabat yang lain, prlahan-lahan menurunkan jenazah Rasulullah Saw ke dalam liang lahat. Setelah itu, tubuh rasul ditutupi tanah dan pasir.
Sekitar 6 bulan setelah kakeknya wafat, Fatimah Al-Zahra,
ibu Zainab, wafat dirumah disamping masjid dan makam kakeknya. Untuk kedua
kalinya, Zainab melihat tubuh orang yang dicintanya dimasukkan ke dalam lubang
lalu ditimbun tanah dan pasir. Sebelum genap berusia 10 tahun, Zainab sudah
bertindak sebagai “IBU” bagi saudarnya. Meski masih muda, ia tampak tabah,
lembut, rajin, dan penuh kasih sayang. Dan akhrinya menjelang dewasa, ayahnya
memilihkan seorang lelaki saleh dan dermawan, bernama Abdullah bin Ja’far
sebagai suaminya.
Belum puas mengecap kebahagiaan, musibah kembali mengguncang
kehidupan rumah tanggannya. Zainab menyaksikan bagaimana ayahnya terbunuh.
Bertapa miris ketika melihat ayahnya diusung dengan wajah berlumuran darah. Dia
menyaksikan adiknya, Ummu Kultsum, menjerit dan menghardik Abdurrahman bin
Muljam, si pembunuh ayahnya, “Ayahku tidak berdosa, mengapa kau bunuh, wahai
musuh Allah!”
Zainab berlari, kemudian memeluk ayahnya, membanjiri wajah
ayahnya dengan air mata. Dia melihat luka menganga di kepala ayahnya. Setelah
sang ayah tiada, Zainab masih harus menanggung kepedihan tatkala dia
menyaksikan kakak sulungnya, Hasan, meninggal dunia karena diracun oleh
pengikut Muawiyah.
Derita batin rupanya belum lenyap dari nasib Zainab. Ia ditakdirkan oleh Allah Swt untuk mendampingi kakanya, Husein, yang meninggal di Padang Karbala. Bahkan yang lebih miris lagi, kepala Husein dipancung oleh anggota pasukan Gubernur Kufah, Ubaidillah bin ziyad. Kepalanya ditancapkan di ujung tomak, lalu diarak ke kufah.
Dalam arak-arakan itu, terdapat pula sejumlah wanita dan
anak-anak berpakaian kotor berdebu dan compang-camping. Zainab dan keluarganya
berjalan tertatih-tatih, dengan perasaan sedih, takut, dan geram, bercampur
jadi satu. Mereka digiring seperti kawanan ternak tanpa makanan dan minuman.
Ketika
rombongan memasuki gerbang Kufah, ribuan orang turun ke jalan. Zainab berteriak
kepada mereka “Wahai kaum Kufah, kaum penipu dan penghkhianat! Kalian telah
membantai orang-orang shaleh keturunan Rasulullah Saw, pelanjut keteladanan
utaman!”
Di hadapan Gubernur Kufah, Ubaidillah bin Ziyad, nyawa
Zainab nyaris melayang jika si gubernur tidak dicegah oleh anak buahnya, Amir
bin Huraits. Begitu pula Ali Zainal Abidin, putra Husein, yang sempat menantang
Ubaidillab bin Ziyad dengan sangat berani. Dia berkata, “Engkau memang seorang
fasik!”
Seketika itu Ubaidillah bin Ziyad memerintahkan pengawalnya
memenggal cicil Rasulullah tersebut. Tapi, Zainab segera meloncat dan
melindungi keponakannya dengan sigap. Zainab berujar, “Belum puaskah kau
menumpahkan darah kami? Demi Allah, aku tak akan melepaskannya. Jika kau mau
membunuhnya, bunuhlah aku dulu!”
Ubaidillah bin Ziyad pun mengurungkan niatnya. Dengan
begitu, Zainab telah menyelamatkan pelanjut kepemimpinan Ahlul Bait, keturunan
Rasulullah Saw. Setelah itu, Zinab digiring menghadap Khalifah Yazid bin
Muawiyah di Damaskus, Syria. Dalam iring-iringan itu, Ali Zainal Abidin yang
masih remaja, harus memikul belenggu pemasung di kedua tangannya di atas
tengkuk. Ketika itulah, Fatimah, putri Husein yang cantik jelita, nyaris
menjadi rebutan seorang serdadu Syria dan Yazid. Tentu saja, hal itu
menimbulakan kemarahan Zainab.
Zainab pun menghardik Yazid bin Muawiyah, “Engkau memang
penguasa zalim. Engkau menindas orang yang berada dalam kekuasaanmu.”
Zainab menantang si khalifah dengan berani. Mendengar itu,
Yazid jadi malu. Ia terdiam. Sekali lagi, Zainab menyelamatkan kuncup keluarga
Rasulullah Saw. Setelah itu, Gubernur Ubaidillah bin Ziad memulangkan Zainab
dan rombongannya ke madinah. Akhirnya, Zainab Al-Kubra wafat sekitar setahun
setelah tragedi Karbala.
Inilah beberapa contoh wanita-wanita
teladan, Kepada wanita-wanita teladan tersebut, kita belajar dari perjuangan mereka. Cerita-cerita
mengharukan tentang keteladanannya dapat kita jadikan guru untuk menembus
godaan kemalasan. Saat ini, semakin banyak wanita yang sukses karena
kegigihannya. Mereka mulia disisi tuannya dan selalu ingin berbagi dengan sesame
manusia. Dari zaman kenabian sampai sekarang, allah tidak pernah menutup
keindahan wanita, hingga mereka sendiri menutup keindahan itu dengan keburukan.
Bahkan, Allah telah menyiapkan surge kepada mereka. Akan tetapi, tidak sedikit
dari mereka menjadi penghuni nereka.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar