Senin, 10 Oktober 2016

Kisah-Kisah Wanita Inspiratif

Hi, Second my post it
Cerminan banget ini bagi seluruh perempuan muslimah. So enjoy for reading..
 
Sesungguhnya wanita adalah wujud nyata keindahan yang mengagumkan. Dialah perhiasan yang sangat indah dipandang mata dan menawan hati orang yang melihatnya. Banyak lelaki yang terbuai karenanya dan tidak sedikit pula lelaki yang naik derajatnya karena ketulusan dan kelambutan hatinya.

1. Halimah Sa’diyah

Sebuah tangis bayi yang baru lahir terdengar dari sebuah rumah di kampung Bani Hasyim di Mekkah pada 12 Rabi’ul Awwal 571 M. Bayi itu lahir dari rahim Amin dan langsung dibopong seorang “bidan” bernama Syifa’, ibunda Abdurrahman bin Auf. “Bayimu laki-laki!” Ucap Syifa’.
Aminah tersenyum lega mendengar perkataan itu. Tetapi, seketika dia teringat kepada mendiang suaminya, Abdullah bin Abu Muthalib, yang telah meninggal 6 bulan sebelumnya. Sang suami hanya meninggalkan sebuah rumah dan seorang budak, Barakah Al-Habsyiyah yang lebih dikenal dengan nama Ummu Aiman.
Sudah menjadi kebiasaan bangsawan Arab waktu itu, bayi yang dilahirkan akan disusukan kepada wanita lain. Khususnya, kepada wanita dusun, supaya si bayi bisa hidup di alam yang segar dan mempelajari bahasa Arab yang baku.
Aminah menyusui sendiri Muhammad kecil selama tiga hari sambil menunggu wanita yang mau menyusui bayinya. Lalu dilanjutkan oleh Tsuwaibah, budah Abu Lahab, paman Nabi Muhammad, yang langsung dimerdekakan karena menyampaikan kabar gembira atas kelahiran Nabi, sebagai ungkapan rasa senang Abu Lahab.
Nabi Muhammad yang masih bayi ditawarkan kepada murdi’at (wanita penusu) dari Bani Sa’ad yang sengaja datang ke Makkah untuk mencari bayi-bayi yang masih menyusu dengan harapan akan mendapat bayaran dan hadiah. Namun, mereka menolak karena Rasulullah Saw adalah anak yatim. Saat itu, Halimah Sa’diyah tidak mendapatkan seorang bayi yang akan disusui. Oleh karena itu, agar pulang tanpa tangan hampa, dia mengambil Rasulullah Saw yang yatim itu sebagai anak susuannya.
Keberadaan Muhammad kecil memberi berkah kepada keluarga Haliah, bahkan bagi kabilahnya. Setelah 2 tahun, Halimah membawa Muhammad kecil mengunjungi ibunya. Karena sadar bahwa keberadaan Muhammad kecil memberi berkah kepada kampunya, Halimah memohon kepada Aminah agar Muhammad kecil diizinkan tinggal kembali bersama Bani Sa’ad. Aminah pun menyetujuinya.
Semenjak mengasuh Muhammad kecil, rezeki Halimah semakin melimpah. Kehidupan rumah tangganya juga berubah total. Perubahan itu menjadi buah bibir di kampungnya. Mereka melihat, keluarga yang tadinya miskin itu sekarang hidup penuh kedamaian, kegemabiraan, dan serba kecukupan. Domba-domba yang mereka pelihara menjadi gemuk dan semakin banyak air susunya, walaupun rumput di daerah mereka gersang.
Peternakan domba milik Halimah berkemabang pesat, sementara domba-domba milik tetangga mereka tetap saja kurus kering. Padahal, rumput yang dimakan sama. Karena itulah, mereka menyuruh anak-anak menggembalakan domba-domba mereka di dekat domba-domba milik Halimah. Namun, hasilnya masih sama, domba para tetangga itu tetap kurus kering.
Selama diasuh oleh Halimah, Muhammad kecil tidak pernah meminta makanan. Diberi atau tidak diberi makan, baliau tidak minta. Tidak seperti anak-anak lainnya yang jika lapar akan meminta makan. Selain itu, saat mengambil Rasulullah Saw. Sebagai anak susuan, air susu Halimah bertambah banyak. Ia pun heran. Sebab, selama ini air susunya hanya keluar sedikit. Namun, semenjak menyusui Muhammad, air susunya berlimpah.
Anehnya lagi, ketika sudah menyusu di susu sebelah dan hendak diberi sebelah yang lain, Nabi Muhammad tutup mulut kuat-kuat. Halimah paham terhadap tingkah bayi Muhammad, yaitu agar susu yang sebelahnya lagi untuk saudaranya, Damrah. Inilah satu bukti bahwa Allah Swt sudah menganugerahkan sifat keadilan pada Rasulullah Saw sejak kecil. Rasul tidak mau mengambil bagian yang bukan untuknya. Rasulullah pun tidak pernah menangis, tidak seperti anak kecil lainnya.
Ketika Muhammad diserahkan kembali kepada kerabatnya, Halimah tidak tahu selanjutnya apa yang terjadi pada Rasulullah. Karena, untuk memperoleh informasi di zaman itu sangatlah susah. Ketika Muhammad berumur 40 tahun, terdengar berita oleh Halimah, bahwa anak susuannya menjadi rasul.
Meski begitu, untuk berjumpa dengan Rasulullah Saw tidaklah mudah. Berulang kali kerinduan Halimah pada anak susuannya itu gagal terwujud. Ia sedih dan menangis karena tidak kuasa memendam rindu. Halimah sendiri pada akhirnya memeluk Islam di tangan orang lain, bukan melalui Rasulullah. Tapi, pada akhirnya Halimah dapat berjumpa dengan Rasulullah Saw. Halimah pun merasakan kebahagiaan yang luar biasa. Selepas itu, Halimah pun meninggal dunia. itulah terakhir kalinya dia berjumpa dengan Rasulullah.

2. Ummu Sulaim Al-Ghumaisha Binti Milhan
Pada zaman Rasulullah Saw, hidupalah seorang wanita yang cantik, cerdas, dan berrakhlak mulia. Dia adalah Ummu Sulaim, yang bernama lengkap Ummu Sulaim binti Malhan bin Khalid bin Zaid bin Hiram bin Jundab bin Amir bin Ghanam bin Adi bin Al-Najar Al-Anshariyah Al-Khazrajiyah.
Berkat sifat-sifatnya yang agung, Ummu Sulaim dilamar Malik bin Nadhar. Buah pernikahan keduanya lahirlah seorang anak bernama Anas bin Malik. Ummu Sulaim termasuk orang yang masuk Islam dari kalangan Anshar. Dengan poenuh keyakinan, Ummu Sulaim meninggalkan kebiasaan orang Jahiliyah : menyembah berhala.
Tak mudah bagi Ummu Sulaim untuk memeluk Islam. Suaminya adalah orang yang pertama menghadang laju keimanannya. Malik sangat marah begitu mengetahui istrinya telah masuk Islam. “Apakah engkau telah musyrik?” tanya Malik.
Ummu Sulaim menjawab dengan penuh keyakinan dan keteguhan, “Aku tidak musyrik, tetapi aku telah beriman.”
Ummu Sulaim membimbing anaknya, Anas bin Malik, untuk mengucapkan dua kalimat syahadat. “Katakanlah, ‘Asyhadu an laa ilaaha illallah wa asyhadu anna Muhammadar rasuulullaah.”
Anas pun membaca syahadat sebagaimana yang diajarkan oleh ibunya. Melihat hal itu, suaminya, Malik, berkata kepada Ummu Sulaim, “Jangan merusak anakku!”
Ummu Sulaim menjawab, “Sesungguhnya aku tidak merusaknya, akan tetapi aku mengajari dan membimbingnya.”
Suatu ketika, Malik pergi menuju Syam. Di dalam perjalanan, ia bertemu dengan musuhnya dan mati terbunuh. Mendengar kematian suaminya, Ummu Sulaim berkata, “Aku tidak akan memberi Anas makanan sampai ia meninggalkan susuku (ASI).
Ummu Sulaim menyerahkan putra kesayangannya, Anas, sebagai pelayan Rasul. Rasulullah Saw pun menyambutnya dengan bahagia sehingga kedua mata Ummu Sulaim nampak berbinar karena bahagia. Orang-orang pun memperbincangkan Anas bin malik dan ibunya dengan penuh kekaguman dan penghormatan. Kemuliaan dan kebaikan Ummu Sulaim terdengar di telinga Abu thalhah, seorang hartawan di zaman itu.
Dengan penuh cinta dan kekaguman, Abu Thalhah berusaha meminang Ummu Sulaim. Abu Thalhah pun melamar Ummu Sulaim dengan mahar yang maha sekali. Akan tetapi, lamaran itu ditolak Ummu Sulaim lantaran Abu Thalhah belum masuk Islam. “Tidak sepantasnya aku menikah dengan seorang musyrik. Tidakkah engkau mengetahui wahai Abu Thalhah, bahwa sesembahan kalian itu diukir oleh seorang hamba dari keluarga si Fulan. Sesungguhnya bila kalian menyalakan api padanya, pastiah api itu akan membakarnya,” Ucap Ummu Sulaim.
Mendengar perkataan Ummu Sulaim, dada Thalhah seakan terasa terhimpit. Ia pun pergi dan hampir tidak percaya dengan apa yang ia dengar. Namun, cintanya yang tulus membuat Thalhah kembali datang dengan mahar yang paling istimewa, dengan harapan Ummu Sulaim bisa luluh dan mau menerimanya.
Ummu Sulaim tidak sialu dengan harta, kehormatan, dan kegagahan. Kemudian ia berkata dengan santun, “Tidak pantas orang sepertimu ditolak wahai Abu Thalhah. Akan tetapi, engkau seorang kafir, sedangkan aku muslimah yang tidak pantas menikah denganmu.”
Lalu Abu Thalhah berkata, “Itu bukan kebiasaanmu.” Ummu Sulaim bertanya, “Apa kebiasaanku?” Abu Thalahah menjawab, “Emas dan perak.”
Ummu Sulaim berucap, “Sesungguhnya aku tidak menginginkan emas dan perak, tetapi yang aku inginkan dari dirimu adalah kau mau masuk Islam.”
Abu Thalhah lalu bertanya, “Siapakah orang yang akan membimbingku untuk hal itu?”
Ummu Sulaim berujar, “Yang akan mengenalkan hal itu adalah Rasulullah Saw.”
Kemudian Abu Thalhah pergi menemui Nabi Saw. Ketika itu, Rasul sedang duduk bersama para sahabat. Saat melihat Abu Thalhah, Nabi Muhammad Saw bersabda, “Telah datang kepada kalian Abu Thalhah yang nampak dari kedua bola matanya semangat keislaman.”
Lalu Abu Thalhah datang dan mengabarkan apa yang telah dikatakan oleh Ummu Sulaim terhadapnya. Abu Thalhah pun akhirnya menikahi Ummu Sulaim dengan mahar yang telah dipersyaratkan, yakni Islam. Sebagai istri, Ummu Sulaim sangat berbakti kepada Abu Thalhah. Dalam satu riwayat, ketika anak Abu Thalhah dari Ummu Sulaim meninggal dunia, Ummu Sulaim berkata kepada keluarganya, “jangan kalian ceritakan kepada Abu Thalhah perihal kematian anaknya. Biar aku sendiri yang akan bercerita kepadanya.”  
Ketika Abu Thalhah datang, Ummu Sulaim menghidangkan makanan kepadanya. Setelah Abu Thalhah makan dan minum dengan puas, Ummu Sulaim pergi ke kamar untuk bersolek secantik mungkin. Syahwat Abu Thalhah pun bangkit sehingga di mengajak istrinya melakukan hubungan intim.
Setelah melihat Abu Thalhah kenyang dan kebutuhan biologisnya terpuaskan, Ummu Sulaim mulai berkata, “Wahai Abu Thalhah, bagaimana menurutmu jika ada satu kaum meminjamkan barangnya kepada suatu keluarga, kemudian mereka meminta kembali barang yang dipinjamkan itu? Apakah keluarga tersebut berhak menolaknya?”
Abu Thalhah menjawab, “Tidak.” Ummu Sulaim pun berkata, “Kalau begitu, tabahkanlah hatimu dengan kematian anakmu.”
Mendengar ucapan Ummu Sulaim, Abu Thalhah marah, lalu ia berkata, “Kamu membiarkanku menikmati pelayananmu, kemudian baru kamu beritahukan kepadaku tentang anakku.” Abu Thalhah pergi menemui Rasulullah Saw dan menceritakan apa yang telah terjadi. Nabi bersabda, “Mudah-mudahan Allah memberi berkah pada malam yang telah kalian lewati dengan manis itu.”

3. Fatimah Al-Zahra
Fatimah Al-Zahra adalah sosok wanita mulia, putri Nabi Muhammad Saw. Seperti halnya wanita pada umumnya, Fatimah juga merasakan indahnya cinta. Cerita Cinta Fatimah Al-Zahra dengan Ali bin Abi Thalib termasuk kisah paling romantis dalam sejarah Islam. Mereka berdua adalah teman bermain semasa kecil.
Suatu hari, Ali tersentak kaget saat mendengar kabar yang mengejutkan, bahwa Fatimah dilamar seorang lelaki yang paling akrab dan paling dekat kedudukannya dengan Nabi Muhammad Saw. Lelaki yang membela Islam dengan harta dan jiwanya sejak awal-awal risalah. Lelaki yang iman dan akhlaknya tak diragukan, yaitu Abu Bakar Al-Shiddiq.
Semua pasti mengenal Abu Bakar. Selain menjadi kawan perjalanan Nabi dalam hijrah, begitu banyak budak yang telah dibebaskan olehnya. Itu artinya Abu Bakar adalah sosok yang kaya  pada saat itu. Sementara Ali hanya pemuda miskin dari keluarga miskin. karena alasan itulah, Ali bergumam dalam hati, “Aku mengutamakan Abu Bakar atas diriku. Aku mengutamakan kebahagiaan Fatimah atas cintaku.”
Cinta tidak pernah meminta untuk menanti. Ia mengambil kesempatan atau mempersilakan. Rupanya lamaran Abu Bakar ditolak. Ali pun terus menjaga semangatnya untuk mempersiapkan diri melamar sang pujaan hati. Namun, ternyata ujian cinta Ali belum berakhir. Setelah Abu Bakar mundur, datanglah melamar Fatimah seorang laki-laki lain yang gagah dan perkasa. Seorang lelaki yang sejak masuk Islamnya membuat kaum muslimin berani tegak mengangkat muka. Seorang laki-laki yang membuat setan berari takut dan musuh-musuh Allah bertekuk lutut. Dialah Umar bin Khattab. Umar adalah lelaki pemberani.
Sekali lagi Ali sadar. Mungkin, jika dinilai dalam pandangan orang banyak, dia dianggap pemuda yang belum siap menikah. Apalagi menikahi Fatimah binti Rasulullah. Tapi, takdir berkata lain. Lamaran Umar juga ditolak. Maka, dengan pertimbangan yang matang, Ali pun memberanikan diri melamar putri Nabi. Disampaikanlah keinginannya untuk menikahi Fatimah. Ia tahu, secara ekonomi tak ada yang menjanjikan pada dirinya. Hanya ada satu baju besi dan persediaan tepung kasar di rumahnya untuk makan. Ali pun menikahi Fatimah dengan cara menggadaikan baju besinya. Juga dengan keberanian untuk mengorbankan cintanya bagi Abu Bakar dan Umar bin Khattab. Dengan keberaniannya ini, Ali pantas disebut gentleman sejati. Tidak heran kalau pemuda Arab memiliki yel, “Laa fatan illaa ‘Aliyyan!” yang artinya “Tak ada pemuda kecuali Ali!”
Inilah jalan cinta para pejuang. Jalan yang mempertemukan cinta dan semua perasaan dengan tanggung jawab. Dalam suatu riwayat dikisahkan bahwa suatu hari setelah mereka menikah, Fatimah berkata kepada Ali, “Maafkan aku, karena sebelum menikah denganmu aku pernah satu kali jatuh cinta pada seseorang pemuda.”
Ali terkejut, kemudian berkata, “Kalau begitu, mengapa engkau mau menikah denganku? Siapakah pemuda itu?” Sambil tersenyum, Fatimah berkata, “Ya, karena pemuda itu adalah dirimu.”
Mereka mengarungi bahtera rumah tangga dengan penuh cinta. Cinta mereka tanpa syarat. Syarat yang mereka bangun adalah mengedepankan cinta kepada Allah dan Rasul-Nya. Hari-hari mereka lalui. Pahit getir dan kekurangan mereka rasakan bersama. Tidak heran bila kadang mereka merasakan lapar karena suatu hari tidak ada yang bisa dimakan.
Pernah suatu hari, seperti biasa Fatimah menunggu Ali pulang. Sesudah melepas lelah, Ali berkata kepada Fatimah, “Maaf sayangku, kali ini aku tidak membawa uang sepeserpun.” Fatimah menyahut sambil tersenyum, “Memang yang mengatur rezeki tidak duduk di pasar, bukan? Yang memiliki kuasa itu adalah Allah Swt.”
“Terima kasih,” Jawab Ali. Matanya memberat lantaran istrinya begitu tawakal, padahal, keperluan dapur sudah habis sama sekali. Namun, Fatimah tidak menunjukkan sikap kecewa atau sedih.
Ali lalu berangkat ke masjid untuk menjalankan salat berjamaah. Sepulang dari shalat, di jalan ia dihentikan oleh seorang lelaki tua. “Maaf anak muda, betulkah engkau Ali anaknya Abu Thalib?” Ali menjawab, “Ya betul, Ada apa, Tuan?”
Orang tua itu mencari sesuatu ke dalam tasnya, lalu berkata, “Dahulu ayahmu pernah kusuruh menyamak kulit. Aku belum sempat membayar upahnya, tapi ayahmu sudah meninggal. Jadi, terimalah uang ini, sebab engkaulah ahli warisnya.”
Dengan gembira Ali mengambil haknya dari orang itu sebanyak 30 dinar. Tentu saja Fatimah sangat gembira memperoleh rezeki yang tidak disangka-sangka  ketika Ali menceritakan kejadian itu. Fatimah meminta Ali membelanjakan semuanya agar tidak pusing-pusing lagi merisaukan keperluan sehari-hari. Ali pun bergegas berangkat ke pasar. Sebelum masuk ke dalam pasar, ia melihat seorang miskin menadahkan tangan dan berkata, “Siapa yang mau mengutangkan hartanya karena Allah, bersedekahlah kepada saya, seorang musafir yang kehabisan bekal di perjalanan.”
Tanpa berfikir panjang, Ali memberikan seluruh uangnya kepada orang itu. Pada waktu Ali pulang, Fatimah merasa heran melihat suaminya tidak membawa apa-apa. Ali menerangkan peristiwa yang baru saja dialaminya. Fatimah tersenyum, lalu berkata, “Aku juga akan melakukan hal yang sama seandainya aku mengalaminya. Lebih baik kita mengutamakan harta karena Allah dari pada bersifat bakhil dan dimurkai-Nya, sehingga Allah akan menutup pintu surga untuk kita.”

4. Zainab Al-kubra
Zainab Al-kubra adalah putri Fatimah Al-Zahra dan Ali bin Abi thalib, cucu dari Rasulullah Saw. Kelahirannya menjadi penawar kesedihan hati Rasul, yang sebelumnya telah kehilangan putri tertuanya, yang juga bernama zainab. Sebagai rasa syukur, Rasul menjuluki cucunya “Al-Kubra” (yang agung), sehingga di kemudian hari ia dikenal dengan nama Zainah Al-Kubra.
Zainah Al-Kubra mewarisi keberanian, kepahlawanan, dan kefasihan berbicara dari ayahnya, Ali bin Abi Thalib, serta kebajikan, kelembutan, dan pengorbanan dari ibunya Fatimah Al-Zahra. Sementara dua kakak lelakinya, Hasan dan Husein, mendapat gelar dari Rasulullah Saw sebagai pemimpin para pemuda ahli surga.
Seperti ayahnya, Zainab Al-Kubra juga dikenal suka belajar dan mencintai ilmu. Oleh karena itu, pengetahuannya dalam ilmu dan makrifat cukup mendalam. Berkat kecerdasannya itu pula, ia dijuluki “Aqilah Bani Hasyim” (Wanita cerdas dari Bani Hasyim).

Menjelang dewasa, Zainab menyaksiakan sebuah tragedi, yaitu ketika Husein, kakaknya, gugur dalam perang Karbala. Jauh sebelum terjadinya peristiwa itu, Allah Swt sudah mengisyaratkan nasih Zainab kepada kakeknya, Rasulullah Saw. Pada suatu hari, Rasulullah Saw sering menciumi wajah mungil si kecil Zainab dengan isak tangis tertahan dan linangan air mata. Terbayang oleh Rasulullah Saw penderitaan cucu tercintanya itu.
Sejak kecil Zainab mendapat pendidikan langsung dalam menghadapi kesusuahan. Ia menyaksiakan langsung perjuangan ibunya  yang dengan setia berada di samping sang kakek, Rasulullah Saw. Waktu itu, Zainab melihat para sahabat menyampaikan penghormatan terakhir kepada Rasulullah secara bergiliran. Zainab juga melihat orang-orang menggali sebuah lubang di kamar Aisyah, neneknya. Gundukan tanah galian itu menumpuk di kiri dan kanan lubang itu, hingga sebagian butirannya mengenai baju Zainab.

Tidak lama kemudian, Zainab melihat ayahnya dibantu oleh dua sahabat yang lain, prlahan-lahan menurunkan jenazah Rasulullah Saw ke dalam liang lahat. Setelah itu, tubuh rasul ditutupi tanah dan pasir.
Sekitar 6 bulan setelah kakeknya wafat, Fatimah Al-Zahra, ibu Zainab, wafat dirumah disamping masjid dan makam kakeknya. Untuk kedua kalinya, Zainab melihat tubuh orang yang dicintanya dimasukkan ke dalam lubang lalu ditimbun tanah dan pasir. Sebelum genap berusia 10 tahun, Zainab sudah bertindak sebagai “IBU” bagi saudarnya. Meski masih muda, ia tampak tabah, lembut, rajin, dan penuh kasih sayang. Dan akhrinya menjelang dewasa, ayahnya memilihkan seorang lelaki saleh dan dermawan, bernama Abdullah bin Ja’far sebagai suaminya.
Belum puas mengecap kebahagiaan, musibah kembali mengguncang kehidupan rumah tanggannya. Zainab menyaksikan bagaimana ayahnya terbunuh. Bertapa miris ketika melihat ayahnya diusung dengan wajah berlumuran darah. Dia menyaksikan adiknya, Ummu Kultsum, menjerit dan menghardik Abdurrahman bin Muljam, si pembunuh ayahnya, “Ayahku tidak berdosa, mengapa kau bunuh, wahai musuh Allah!”
Zainab berlari, kemudian memeluk ayahnya, membanjiri wajah ayahnya dengan air mata. Dia melihat luka menganga di kepala ayahnya. Setelah sang ayah tiada, Zainab masih harus menanggung kepedihan tatkala dia menyaksikan kakak sulungnya, Hasan, meninggal dunia karena diracun oleh pengikut Muawiyah.

Derita batin rupanya belum lenyap dari nasib Zainab. Ia ditakdirkan oleh Allah Swt untuk mendampingi kakanya, Husein, yang meninggal di Padang Karbala. Bahkan yang lebih miris lagi, kepala Husein dipancung oleh anggota pasukan Gubernur Kufah, Ubaidillah bin ziyad. Kepalanya ditancapkan di ujung tomak, lalu diarak ke kufah.
Dalam arak-arakan itu, terdapat pula sejumlah wanita dan anak-anak berpakaian kotor berdebu dan compang-camping. Zainab dan keluarganya berjalan tertatih-tatih, dengan perasaan sedih, takut, dan geram, bercampur jadi satu. Mereka digiring seperti kawanan ternak tanpa makanan dan minuman.
Ketika rombongan memasuki gerbang Kufah, ribuan orang turun ke jalan. Zainab berteriak kepada mereka “Wahai kaum Kufah, kaum penipu dan penghkhianat! Kalian telah membantai orang-orang shaleh keturunan Rasulullah Saw, pelanjut keteladanan utaman!”
Di hadapan Gubernur Kufah, Ubaidillah bin Ziyad, nyawa Zainab nyaris melayang jika si gubernur tidak dicegah oleh anak buahnya, Amir bin Huraits. Begitu pula Ali Zainal Abidin, putra Husein, yang sempat menantang Ubaidillab bin Ziyad dengan sangat berani. Dia berkata, “Engkau memang seorang fasik!”
Seketika itu Ubaidillah bin Ziyad memerintahkan pengawalnya memenggal cicil Rasulullah tersebut. Tapi, Zainab segera meloncat dan melindungi keponakannya dengan sigap. Zainab berujar, “Belum puaskah kau menumpahkan darah kami? Demi Allah, aku tak akan melepaskannya. Jika kau mau membunuhnya, bunuhlah aku dulu!”
Ubaidillah bin Ziyad pun mengurungkan niatnya. Dengan begitu, Zainab telah menyelamatkan pelanjut kepemimpinan Ahlul Bait, keturunan Rasulullah Saw. Setelah itu, Zinab digiring menghadap Khalifah Yazid bin Muawiyah di Damaskus, Syria. Dalam iring-iringan itu, Ali Zainal Abidin yang masih remaja, harus memikul belenggu pemasung di kedua tangannya di atas tengkuk. Ketika itulah, Fatimah, putri Husein yang cantik jelita, nyaris menjadi rebutan seorang serdadu Syria dan Yazid. Tentu saja, hal itu menimbulakan kemarahan Zainab.
Zainab pun menghardik Yazid bin Muawiyah, “Engkau memang penguasa zalim. Engkau menindas orang yang berada dalam kekuasaanmu.”
Zainab menantang si khalifah dengan berani. Mendengar itu, Yazid jadi malu. Ia terdiam. Sekali lagi, Zainab menyelamatkan kuncup keluarga Rasulullah Saw. Setelah itu, Gubernur Ubaidillah bin Ziad memulangkan Zainab dan rombongannya ke madinah. Akhirnya, Zainab Al-Kubra wafat sekitar setahun setelah tragedi Karbala.

Inilah beberapa contoh wanita-wanita teladan, Kepada wanita-wanita teladan tersebut, kita belajar dari perjuangan mereka. Cerita-cerita mengharukan tentang keteladanannya dapat kita jadikan guru untuk menembus godaan kemalasan. Saat ini, semakin banyak wanita yang sukses karena kegigihannya. Mereka mulia disisi tuannya dan selalu ingin berbagi dengan sesame manusia. Dari zaman kenabian sampai sekarang, allah tidak pernah menutup keindahan wanita, hingga mereka sendiri menutup keindahan itu dengan keburukan. Bahkan, Allah telah menyiapkan surge kepada mereka. Akan tetapi, tidak sedikit dari mereka menjadi penghuni nereka.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar