Selasa, 10 Januari 2017

Essai “Persoalan Filsafat Menurut Immanue Kant”



Persoalan Filsafat Menurut Immanuel Kant
Disusun Oleh:
Windar Yanti
Immanuel Kant merupakan tokoh besar dalam filsafat modern. Filsafat Immanuel Kant disebut juga kritisisme, karena ia berusaha mensintesiskan secara kritis antara Empirisme oleh Locke dengan Rasionalisme dari Descartes. Kritisisme Kant dimulai dengan menyelidiki kemampuan dan batas-batas rasio. Immanuel Kant berusaha mencari jalan tengah untuk mensintesiskan antara Empirisme dan Rasionalisme, sehingga ia disebut juga sebagai pengukur Realisme Kritis atau Realisme Modern. Menurut Kant semua pengetahuan dimulai dari pengalaman, namun tidak berarti semuanya dari pengalaman.
Immanuel Kant lahir di Koningsberg, Prusia Timur, Jerman. Ia belajar filsafat, fisika, dan ilmu pasti di Koningsberg, kemudian menjadi guru besar dalam ilmu logika dan metafisika di Koningsberg juga. Perjalanan hidupnya dapat dibagi menjadi 2 tahap, yaitu tahap pra-kritis dan tahap kritis, dengan kira-kira tahun 1770 sebagai garis pembatasnya, yaitu ketika ia menerima jabatan sebagai guru besar. Sejak itu ia menyodorkan filsafatnya kepada dunia dengan penuh kepastian. Semula Immanuel Kant dipengaruhi rasionalisme Leiniz dan Wolf, kemudian dipengaruhi empirisme Hume. Menurut Kant sendiri Hume yang menjadikan dia bangun dari “tidurnya” dalam dogmatisme.
Dogmatisme adalah filsafat yang mendasarkan pandangannya kepada pengertian-pengertian yang telah ada, tanpa menghiraukan apakah rasio telah memiliki pengertian tentang hakekat, luas, dan batas kemampuannya sendiri ataukah tidak. Filsafat yang bersifat dogmatis menerima kebenaran-kebenaran asasi agama dan dasar ilmu pengetahuan begitu saja tanpa mempertanggungjawabkannya secara kritis. Dogmatisme menganggap pengenalan obyektif sebagai hal yang sudah ada dengan sendirinya. Sikap sendirian menurut Immanuel Kant adalah salah. Orang harus bertanya, “Bagaimana pengenalan obyektif itu mungkin?”. Oleh karena itu penting sekali menjawab pertanyaan yang mengenai syarat-syarat kemungkinan adanya pengenalan dan batas-batas pengenalan itu.
Pikiran-pikiran dan tulisan-tulisannya yang sangat penting membawa revolusi yang jauh jangkauannya dalam filsafat modern. Ia juga terpengaruh oleh aliran Patteisme dari ibunya, tetapi ia hidup dalam zaman Sceptisme serta membaca karangan-karangan Voltaire dan Hume. Akibat dari itu semua kemudian memunculkan berbagai pertanyaan dalam benaknya. What can we Know? (apa yang dapat kita ketahui), What is nature and what are the limits of human knowledge? (Apakah alam ini dan apakah batas-batas kemampuan manusia itu?). Sebagian besar hidupnya telah ia pergunakan untuk mempelajari logical process of though (proses penalaran logis), the external world (dunia eksternal), dan the reality of things (realitas segala yang wujud).
Secara harfiyah kata kritik berarti “pemisahan”. Zaman pencerahan atau yang dikenal di Inggris dengan enlightenment. Terjadi pada abad ke 18 di Jerman. Immanuel Kant mendefinisikan zaman itu dengan mengatakan “dengan aufklarung, manusia akan keluar dari keadaan tidak akil balig (dalam bahasa Jerman: unmundigkeint), yang dengan ia sendiri bersalah”. Sebabnya menusia bersalah karena manusia tidak menggunakan kemungkinan yang ada padanya yaitu rasio.
Dengan demikian zaman pencerahan merupakan tahap baru dalam proses emansipasi manusia barat yang sudah dimulai sejak Renaissance dan reformasi. Di Jerman, seorang filosof besar yang melebihi zaman aufklarung telah lahir yaitu Immanuel Kant.
Menurut Imanuel Kant ( 1724 – 1804 ), Filsafat adalah ilmu pengetahuan yang menjadi pokok dan pangkal dari segala pengetahuan yang didalamnya tercakup empat persoalan. Sumber lain mengatan pertanyaan dari Immanuel Kant yaitu: Apakah yang dapat kita kerjakan? (jawabannya metafisika )
 Metafisika adalah studi keberadaan atau realitas. Metafisika mencoba menjawab pertanyaan-pertanyaan seperti: Apakah sumber dari suatu realitas? Apakah Tuhan ada? Apa tempat manusia di dalam semesta? Cabang utama metafisika adalah ontologi, studi mengenai kategorisasi benda-benda di alam dan hubungan antara satu dan lainnya.

Tokoh filsuf empirisme David Hume menghancurkan segala kemungkinan munculnya kembali sistem metafisika yang mengklaim kemampuan rasio (akal) manusia mencapai realitas sesungguhnya. Hume hanya mau bersandar pada apa yang bisa diamati melalui inderawi. Kritik pedas Hume pada metafisika membangunkan Kant dari tidur dogmatisnya (Immanuel Kant, 1997). Dari Hume, Immanuel Kant menyadari bahwa disiplin metafisika telah melalaikan keterbatasan pengetahuan manusia dalam memahami realitas sesungguhnya. Hume yang menolak metafisika, Immanuel Kant mempertanyakan metafisika untuk merekonstruksi metafisika yang sudah ada. Ia membuang metafisika tradisional yang diwariskan  Aristoteles (filsuf Yunani) dan Thomas (filsuf skolastik) dengan eviden sebagai dasarnya.
Eviden yang dimaksud Immanuel Kant adalah dualisme kritisisme yang ekstrem yakni pengetahuan dan kenyataan yang terpisah oleh jurang yang tidak dapat diseberangi. Metafisika tradisional menganggap Tuhan sebagai causa prima (penyebab pertama dari segala sesuatu). Asumsi ini ditolak Immanuel Kant. Menurutnya Tuhan bukanlah obyek pengalaman dengan kategori kausalitas pada tingkat akal budi (verstand), melainkan ada pada bidang atau pandangan yang melampaui akal budi, yakni bidang rasio (vernunft). Bagi Immanuel Kant, pembuktian Tuhan sebagai causa prima tidak bisa diterima. Ada tidaknya Tuhan mustahil dibuktikan. Tuhan ditempatkan Immanuel Kant sebagai postulat bagi tindakan moral pada rasio praktis.
Menurut Immanuel Kant,  dalam metafisika tidak terdapat pernyataan-pernyataan sintetik a priori seperti yang ada di dalam matematika, fisika dan ilmu-ilmu yang berdasar kepada fakta empiris. Immanuel Kant menamakan metafisika sebagai “ilusi transenden” (a transcendental illusion). Menurut Kant, pernyataan-pernyataan metafisika tidak memiliki nilai epistemologis.
Apakah yang seharusnya kita kerjakan? (jawabannya Etika )
Sampai dimanakah harapan kita? (jawabannya Agama )
Apakah yang dinamakan manusia? (jawabannya Antropologi )

Menurutnya pokok persoalan filsafat disederhanakan kedalam 4 pertanyaan umum yaitu:
1.    What May I Hope ? (Apakah Yang Boleh Saya Harapkan)
Stotland dan Gottschalk masing-masing mendeskripsikan harapan sebagai keinginan untuk mencapai tujuan, Stotland menekankan hal penting dan kemungkinan dalam mencapai tujuan, sedangkan Gottschalk mendeskripsikan tenaga positif yang mendorong seseorang untuk bekerja melalui keadaan yang sulit (J. Lopez, 2009: 487). Selanjutnya Staat memandang harapan merupakan ekspetasi yang berinteraksi dengan pengharapan untuk mewujudkan kemungkinan dan berpengaruh pada tujuan yang dicapai. Teori tentang harapan sebenarnya telah dikembangkan oleh C.R. Snyder selama bertahun-tahun. Menurut Snyder (Carr, 2004: 90), harapan adalah kemampuan untuk merencanakan jalan keluar dalam upaya mencapai tujuan walaupun adanya rintangan, dan menjadikan motivasi sebagai suatu cara dalam mencapai tujuan.
Berdasarkan konsep ini, harapan akan menjadi lebih kuat jika harapan ini disertai dengan adanya tujuan yang bernilai yang memiliki kemungkinan untuk dapat dicapai. Maka secara umum dapat disimpulkan pengertian harapan adalah keadaan mental positif pada seseorang dengan kemampuan yang dimilikinya dalam upaya mencapai tujuan pada masa depan. Menurut macamnya ada harapan yang optimis dan ada harapan yang pesimistis (tipis harapan). Harapan yang optimis artinya sesuatu yang akan terjadi itu sudah memberikan tanda-tanda yang dapat dianalisis secara rasional, bahwa sesuatu yang akan terjadi bakal muncul. Dalam harapan pesimistis ada tanda-tanda rasional yang tidak bakal terjadi.
Menurut Snyder (2000), terdapat komponen-komponen yang terkandung dalam teori harapan yaitu:
a.    Goal
Perilaku manusia adalah berorientasi dan memiliki arah tujuan. Goal atau tujuan adalah sasaran dari tahapan tindakan mental yang menghasilkan komponen kognitif. Tujuan menyediakan titik akhir dari tahapan perilaku mental individu. Tujuan harus cukup bernilai agar dapat mencapai pemikiran sadar. Tujuan dapat berupa tujuan jangka pendek ataupun jangka panjang, namun tujuan harus cukup bernilai untuk mengaktifkan pemikiran yang disadari. Dengan kata lain, tujuan harus memiliki kemungkinan untuk dicapai tetapi juga mengandung beberapa ketidakpastian. Pada suatu akhir dari kontinum kepastian, kepastian yang absolut adalah tujuan dengan tingkat kemungkinan pencapaian 100%, tujuan seperti ini tidak memerlukan harapan. Harapan berkembang dengan baik pada kondisi tujuan yang memiliki tingkat kemungkinan pencapaian sedang (Averill dkk., dalam Snyder, 2000).
b.    Pathway Thinking
Untuk dapat mencapai tujuan maka individu harus memandang dirinya sebagai individu yang memiliki kemampuan untuk mengembangkan suatu jalur untuk mencapai tujuan. Proses ini yang dinamakan pathway thinking, yang menandakan kemampuan seseorang untuk mengembangkan suatu jalur untuk mencapai tujuan yang diinginkan. Pathway thinking ditandai dengan pernyataan pesan internal seperti “Saya akan menemukan cara untuk menyelesaikannya!” (Snyder, Lapointe, Crowson, & Early dalam Lopez, Snyder & Pedrotti, 2003).
Pathway thinking mencakup pemikiran mengenai kemampuan untuk menghasilkan satu atau lebih cara yang berguna untuk mencapai tujuan yang diinginkan. Beberapa jalur yang dihasilkan akan berguna ketika individu menghadapi hambatan, dan orang yang memiliki harapan yang tinggi merasa dirinya mampu menemukan beberapa jalur alternatif dan umumnya mereka sangat efektif dalam menghasilkan jalur alternatif (Irving, Snyder, & Crowson; Snyder, Harris, dkk., dalam Snyder, Rand & Sigmon, 2002).
c.     Agency Thinking
Komponen motivasional pada teori harapan adalah agency, yaitu kapasitas untuk menggunakan suatu jalur untuk mencapai tujuan yang diinginkan. Agency mencerminkan persepsi individu bahwa dia mampu mencapai tujuannya melalui jalur-jalur yang dipikirkannya, agency juga dapat mencerminkan penilaian individu mengenai kemampuannya bertahan ketika menghadapi hambatan dalam mencapai tujuannya.
Orang yang memiliki harapan tinggi menggunakan self-talk seperti “Saya dapat melakukan ini” dan “Saya tidak akan berhenti sampai disini”. Agentic thinking penting dalam semua pemikiran yang berorientasi pada tujuan, namun akan lebih berguna pada saat individu menghadapi hambatan. Ketika individu menghadapi hambatan, agency membantu individu menerapkan motivasi pada jalur alternatif terbaik. Komponen agency dan pathway saling memperkuat satu sama lain sehingga satu sama lain saling mempengaruhi dan dipengaruhi secara berkelanjutan dalam proses pencapaian tujuan.
d.   Kombinasi Pathway Thinking dan Agency Thinking
Menurut teori harapan, komponen pathway thinking dan agency thinking merupakan dua komponen yang diperlukan. Namun, jika salah satunya tidak tercapai, maka kemampuan untuk mempertahankan pencapaian tujuan tidak akan mencukupi. Komponen pathway thinking dan agency thinking merupakan komponen yang saling melengkapi, bersifat timbal balik, dan berkorelasi positif, tetapi bukan merupakan komponen yang sama. Oleh sebab itu, teori harapan tersebut spesifik pada kemampuan untuk menghasilkan rencana untuk mencapai tujuan dan kepercayaan pada kemampuan untuk mengimplementasikan tujuan tersebut. Individu yang memiliki kemampuan dalam agency thinking seharusnya disertakan juga dengan pathway thinking.
Kesimpulannya, harapan merupakan kombinasi antara mental agency thinking dan pathway thinking yang berfungsi untuk mencapai tujuan. Kedua komponen tersebut disebut mental karena harapan merupakan proses yang terjadi secara konstan dimana proses tersebut termasuk apa yang individu pikirkan tentang diri mereka sendiri yang memiliki kaitan dengan tujuan. Apa yang dipikirkan oleh individu tersebut dapat mempengaruhi perilaku yang nyata.
Dari pemaparan diatas mengenai teori harapan, tentu setiap manusia pasti memiliki harapan dalam hidupnya. Adapun harapan saya mungkin sama dengan kebanyakan orang pada umumnya, harapan saya yang paling utama adalah dapat membahagiakan kedua orang tua. Karena merekalah saya dapat duduk dibangku perkuliahan untuk mewujudkan cita-cita saya, yaitu sebagai seorang guru. Selain itu harapan saya selanjutnya yaitu semoga dapat lulus tepat pada waktunya dengan nilai yang memuaskan, tentunya harapan ini dapat terwujud jika kita berusaha dengan sungguh-sungguh dan disertai doa.
Adapun menurut pandangan Immanuel Kant sendiri, pada hakekat /metafisika Pemikiran Immanuel Kant Tentang Agama dan Tuhan. Meskipun Kant lebih dikenal sebagai filsuf yang berkecimpung dalam bidang epistemologi dan etika, tetapi kajian tentang Tuhan pun tak luput dari penelaahannya. Dalam bidang keagamaan atau Teologi, Kant menolak bukti-bukti “onto-teologis” adanya Tuhan. Artinya, menurutnya, Tuhan itu, statusnya bukan “objek” inderawi, melainkan a priori yang terletak pada lapisan ketiga (budi tertinggi) dan berupa “postulat” (Asumsi yg menjadi pangkal dalil yang dianggap benar tanpa perlu membuktikannya; anggapan dasar).
Immanuel Kant  berargumentasi bahwa konsep seseorang tentang Tuhan harus berasal dari penalaran; oleh karena itu, ia menyerang bukti-bukti tentang keberadaan Tuhan, dengan menyangkali keabsahannya. Immanuel Kant berpendapat bahwa tidak dapat ada terpisah pengalaman yang dapat dibuktikan melalui pengujian. Dalam hal ini, Kant mengkombinasikan rasionalisme (kebertumpuan pada penalaran manusia) dan empirisme (pembuktian sesuatu berdasar metode ilmiah).
Bagi Kant, Tuhan bukanlah soal teoretis, melainkan soal praktis, soal moral, soal totalitas pengalaman, dan arti atau makna hidup terdalam (ini dampak positifnya). Dampak negatifnya adalah bahwa sebagai “postulat’ (penjamin) moralitas, Tuhan adalah konsekuensi moralitas, maka moralitas merupakan dasar keberadaan Tuhan. Karena itu, muncul tendensi pada Kant untuk meletakkan agama hanya pada tataran moralitas semata atau perkara horizontal saja (hubungan antar manusia saja atau soal perilaku di dunia ini saja). Konsekuensinya, agamanya Kant, tidak memerlukan credo (kepercayaan).
Immanuel Kant menyatakan bahwa memang Tuhan hanya bisa didekati melalui iman dan iman itu dilandasi oleh hukum moral. Hukum moral mewajibkan kita untuk selalu melakukan kebaikan. Tetapi hukum moral ini mensyaratkan tiga hal utama, yaitu: kebebasan, keabadian jiwa, dan keberadaan tuhan.
Pertama, kewajiban tentu mengandaikan kebebasan. Kita bebas untuk tidak menjalankan hukum moral untuk melakukan kebaikan. Maka kemudian hukum moral menjadi wajib. Kebaikan menjadi wajib dilakukan. Apabila tidak ada kebebasan maka tidak akan ada kewajiban. Karena manusia bebas untuk melakukan atau tidak melakukan kebaikan maka kemudian muncul kewajiban untuk melakukan kebaikan.
Kedua, adalah keabadian jiwa. Hukum moral bertujuan untuk mencapai kebaikan tertinggi. Kebaikan tertinggi ini mengandung elemen keutamaan dan kebahagiaan. Orang dinyatakan memiliki keutamaan apabila perbuatannya sesuai dengan hukum moral. Dari keutamaan inilah kemudian muncul kebahagiaan.
Tetapi menurut Immanuel Kant, manusia itu tidak akan selalu mencapai kondisi keutamaan. Tidak akan pernah manusia mencapai kesesuaian kehendak dengan hukum moral. Karena apabila manusia bisa mencapai kesesuaian ini tanpa putus maka itu adalah kesucian dan tidak ada manusia yang akan pernah mencapai kesucian mutlak. Manusia hanya akan selalu berusaha untuk mencapai kesucian itu, dan itu adalah perjuangan tanpa akhir. Karena egoisme dan sifat dasar manusia lainnya, maka perjuangan mencapai kesucian itu adalah perjuangan tanpa akhir.
Oleh sebab itu, keutamaan yang menjadi elemen kebaikan tertinggi yang merupakan tujuan akhir dari hukum moral tidak akan pernah bisa direalisasikan selama manusia hidup. Dengan kata lain kondisi ideal dimana terjadi kesesuaian antara kehendak dan hukum moral adalah jika manusia sudah tidak memiliki kehendak (mati), tetapi apabila setelah mati tidak ada kehidupan maka kondisi ideal itu juga tidak akan tercapai, maka hukum moral mengandaikan bahwa jiwa itu abadi. Bahkan setelah raga ini mati jiwa akan selalu abadi untuk mencapai kondisi ideal berupa kebaikan tertinggi.
Ketiga, adalah keberadaan tuhan. Telah dijelaskan bahwa kebaikan tertinggi memiliki elemen keutamaan dan kebahagaiaan. Keutamaan adalah kesesuaian antara kehendak dengan hukum moral dan dari keutamaan inilah muncul kebahagiaan. Kebahagiaan sendiri adalah kondisi di mana realitas manusia sesuai dengan keinginan dan kehendaknya. Tapi hal itu tidaklah mungkin karena manusia bukan yang maha pengatur yang bisa mengharmoniskan dunia fisik sesuai dengan kehendak dan keinginannya. Tapi justru itulah yang diandaikan apabila kita memiliki keutamaan.
Kebahagiaan diandaikan sebagai sintesis dari dunia fisik, kehendak, dan keinginan. Realitas inilah yang kemudian disebut tuhan. Tuhan adalah penyebab tertinggi alam sejauh alam itu diandaikan untuk kebaikan tertinggi atau tuhan adalah pencipta alam fisik yang sesuai dengan kehendak dan keinginan-Nya. Apabila kita bertindak sesuai hukum moral maka akan membawa kita pada keutamaan dan keutamaan akan membawa kita pada kebahagiaan dan kebahagiaan adalah kondisi di mana terdapat kesesuaian antara alam fisik dengan kehendak dan keinginan. Dan yang memiliki kesesuaian ketiga elemen ini adalah Tuhan. Maka, dengan berbuat baik kita akan sampai pada realitas keberadaan Tuhan. Artinya hukum moral mengandaikan keberadaan Tuhan.
Jika tiga syarat (kebebasan, keabadian jiwa, dan keberadaan tuhan) ini tidak diandaikan keberadaanya, maka runtuhlah sistem moral. Padalah sistem moral itu selalu ada. Kebaikan selalu ada dan manusia selalu mencoba mewujudkan kebaikan tersebut. Pemikiran Immanuel Kant Tentang Agama dan Tuhan.
2.    What Shoul I Do ? (Apakah Yang boleh Saya Lakukan)
Persoalan pada pedoman hidup/aksiologi/nilai/etika. Pemikiran Immanuel Kant  tantang Etika (Deontologi). Etika disebut juga filsafat moral, yang berasal dari kata ethos (Yunani) yang berarti watak. Moral berasal dari kata mos atau mores (Latin) yang artinya kebiasaan. Objek material etika adalah tingkah laku atau perbuatan manusia, sedang objek formal etika adalah kebaikan atau keburukan, bermoral atau tidak bermoral.
Moralitas manusia adalah objek kajian etika yang telah berusia sangat lama. Sejak manusia terbentuk, persoalan perilaku yang sesuai dengan moralitas telah menjadi bahasan. Berkaitan dengan hal itu, kemudian muncul dua teori yang menjelaskan bagaimana suatu perilaku itu dapat diukur secara etis yaitu Deontologis dan Teologis.
Teori Deontologis dihasilkan oleh pemikiran Immanuel Kant. Deontologi berasal dari kata Deon (Yunani) yang berarti kewajiban. Menurut teori ini perbuatan adalah baik jika dilakukan berdasarkan “imperatif kategoris” (perintah tak bersyarat). Yang menjadi dasar bagi baik buruknya perbuatan adalah kewajiban dan tujuan yang baik tidak menjadikan perbuatan itu baik. Etika Immanuel Kant diawali dengan pernyataan bahwa satu-satunya hal baik yang tak terbatasi dan tanpa pengecualian adalah “kehendak baik”. Sejauh orang berkehendak baik maka orang itu baik, penilaian bahwa sesorang itu baik sama sekali tidak tergantung pada hal-hal diluar dirinya, tak ada yang baik dalam dirinya sendiri kecuali kehendak baik. Wujud dari kehendak baik yang dimiliki seseorang adalah bahwa ia mau menjalankan Kewajiban. Setiap tindakan yang kita lakukan adalah untuk menjalankan kewajiban sebagai hukum batin yang di taati, tindakan itulah yang mencapai moralitas.
Etika deontologi sangat menekankan motivasi, kemauan baik dan watak yang kuat dari perilaku. Kemauan baik adalah syarat mutlak untuk bertindak secara moral. Tindakan yang baik adalah tindakan yang tidak saja sesuai dengan kewajiban melainkan juga yang dijalankan demi kewajiban.
Kewajiban menurutnya adalah keharusan tindakan demi hormat terhadap hukum, tidak peduli apakah itu membuat kita nyaman atau tidak, senang atau tidak, cocok atau tidak, pokoknya aku wajib menaatinya. Ketaatan ini muncul dari sikap batin yang merupakan wujud dari kehendak baik yang ada didalam diri.
Tiga prinsip yang harus dipenuhi: Pertama,  supaya suatu tindakan mempunyai nilai moral, tindakan itu harus dijalankan berdasarkan kewajiban. Kedua, nilai moral dari tindakan itu tidak tergantung pada tercapainya tujuan dari tindakan itu melainkan tergantung pada kemauan baik yang mendorong seseorang untuk melakukan tindakan itu (walaupun tujuannya tidak tercapai, tindakan itu sudah dinilai baik). Ketiga, sebagai konsekuensi dari kedua prinsip itu, kewajiban adalah hal tindakan yang dilakukan berdasarkan sikap hormat pada hukum moral universal.
Menurut Immanuel Kant ada tiga kemungkinan seseorang menjalankan kewajibannya. Pertama, ia memenuhi kewajiban karena hal itu meng- untungkannya. Kedua, ia memenuhi kewajibannya karena ia terdorong dari perasaan yang ada didalam hatinya, misalnya rasa kasihan. Ketiga, ia memenuhi kewajibannya kerena kewajibannya tersebut, karena memang ia mau memenuhi kewajibannya.
Menurut Immanuel Kant, ketika manusia meninggalkan pamrih-pamrihnya, maka kehendak baik di dunia ini akan terwujud dalam pelaksanaan kewajiban. Kant kewajiban dan tindakan yang dilakukan demi kewajiban. Untuk tindakan yang sesuai dengan kewajiban baginya tidak berharga secara moral, sedangkan tindakan yang dilakukan demi kewajiban itu bernilai moral.
3.    What Can I Know ? (Apakah Yang Dapat Saya Ketahui)
       Pengetahuan didapat dari pengamatan. Dalam pengamatan inderawi tidak dapat ditetapkan apa yang subyektif dan apa yang obyektif. Jika kesan-kesan subyektif dianggap sebagai kebenaran maka hal itu mengakibatkan adanya gambaran-gambaran yang kacau di dalam imajinasi. Segala pengetahuan dimulai dengan gambaran-gambaran inderawi, kemudian ditingkatkan hingga sampai kepada yang lebih tinggi, yaitu pengetahuan rasional dan pengetahuan intuitif. Dalam pengetahun rasional orang hanya mengambil kesimpulan-kesimpulan, sedang dalam intuisi orang memandang kepada ide-ide yang berkaitan dengan Tuhan. Demikian pendapat Baruch Spinoza. Hal ini berbeda dengan pendapat Thomas Hobbes (1588-1679), salah seorang tokoh emperisme, yang mengatakan bahwa pengetahuan diperoleh karena pengalaman.
Menurutnya pengalaman adalah awal segala pengetahuan, segala ilmu pengetahuan diturunkan dari pengalaman dan hanya pengalamanlah yang memberi jaminan akan kepastian. Yang disebut pengalaman adalah keseluruhan atau totalitas segala pengamatan yang disimpan dalam ingatan dan digabungkan dengan suatu pengharapan akan masa depan, sesuai dengan apa yang telah diamati pada masa lampau. Beberapa filsuf yang lain seperti Bacon, Thomas Hobbes dan John Locke mengatakan bahwa sumber pengetahaun adalah pengalaman inderawi, bukan akal budi atau ratio. Pada dasarnya menurut mereka, pengetahuan bergantung pada pancaindera manusia dan pengalaman-pengalaman inderanya, bukan pada rasio. Mereka juga mengklaim bahwa seluruh ide dan konsep manusia sesungguhnya berasal dari pengalaman. Tidak ada ide atau konsep yang di dalam dirinya sendiri bersifat apriori, tetapi sesungguhnya aposteriori.
Tingkat pengetahuan dalam domain kognitif mempunyai 6 tingkatan yaitu:
a.  Tahu (Know)
Tahu diartikan sebagai mengingat suatu materi yang dipelajari sebelumnya termasuk dalam pengetahuan. Tingkat ini adalah mengingat kembali (recall) terhadap sesuatu yang spesifik dari seluruh bahan yang dipelajari atau rangsangan yang telah diterima. Tahu merupakan tingkatan pengetahuan yang paling rendah. Kata kerja untuk mengukurnya antara lain menyebutkan, menguraikan, mengindentifikasi, menyatakan dan sebagainya.
b.  Memahami (Comprehension)
Memahami diartikan sebagai suatu kemampuan menjelaskan secara benar tentang objek yang diketahui dan dapat menginterprestasikan materi tersebut secara benar. Orang yang telah paham terhadap objek atau materi harus dapat menjelaskan, menyebutkan contoh, menyimpulkan, meramalkan dan sebagainya.
c.    Aplikasi (Aplication)
Aplikasi diartikan sebagai suatu kemampuan menggunakan materi yang telah dipelajari pada situasi atau kondisi riil (sebenarnya).
         d.      Analisis (Analysis)
Analisis adalah suatu kemampuan untuk menjabarkan materi atau suatu objek ke dalam komponen-komponen, tetapi masih dalam suatu struktur organisasi tersebut, dan masih ada kaitannya satu sama lain.
          e.       Sintesis.
Sintesis menunjuk kepada suatu kemampuan untuk meletakkan atau menghubungkan bagian-bagian didalam suatu bentuk keseluruhan yang baru. Secara lebih sederhana, sintesis adalah kemampuan untuk menyusun formulasi baru dari formulasi-formulasi yang telah ada.
         f.       Evaluasi (Evaluation)
Evaluasi berkaitan dengan kemampuan untuk melakukan justifikasi atau penilaian terhadap suatu materi atau suatu objek. Penilaian ini didasarkan suatu kriteria yang telah ada. Piaget menyatakan bahwa proses dasar yang terjadi pada penyusunan pengetahuan adalah adaptasi (assimilasi dan akomodasi) yang diatur oleh ekuilibrasi.
Ditinjau dari sifat dan cara penerapannya pengetahuan terdiri dari dua macam, yakni: “declarative knowledge dan procedural kowledge”. Decarative knowlede lazim juga disebut propositional knowledge. Pengetahuan deklatarif atau pengetahuan prososisional ialah pengetahuan mengenai informasi faktual yang pada umumnya bersifat statis-normatif dan dapat dijelaskan secara lisani atau verbal.
Sebaliknya pengetahuan prosedural adalah pengetahuan yang mendasari kecakapan atau keterampilan perbuatan jasmaniah yang cenderung bersifat dinamis”. Selanjutnya ada tiga unsur pengetahuan yaitu:
1.      Pengamatan (menanamkan) yaitu penggunaan indra lahir dan indra batin untuk menangkap objek.
2.      Sasaran (objek) yaitu sesuatu yang menjadi bahan pengamatan.
3.      Kesadaran (jiwa) salah satu dari alam yang ada pada diri manusia.
Maka dapat disimpulkan dengan jelas bahwa pengetahuan adalah segenap apa yang kita ketahui tentang suatu objek tertentu. Pengetahuan merupakan hasil tahu setelah melakukan penginderaan terhadap suatu objek tertentu. Penginderaan terjadi melalui panca indera manusia, yakni: indera penglihatan, pendengaran, penciuman, rasa dan raba. Sebagian besar pengetahuan manusia diperoleh melalui mata dan telinga.  Pengetahuan seseorang dengan orang lain berbeda-beda, sehingga dengan demikian pengetahuan merupakan kekayaan mental yang secara langsung atau tidak langsug memperkaya kehidupan manusia.
Epistemologi Pemikiran Immanuel Kant tantang Pengatahuan. Menurut Immanuel Kant, pengetahuan yang mutlak sebenarnya memang tidak akan ada bila seluruh pengetahuan datang melalui indera. Akan tetapi bila pengetahuan itu datang dari luar melalui akal murni, yang tidak bergantung pada pengalaman, bahkan tidak bergantung pada indera, yang kebenarannya a priori.
Immanuel Kant memulainya dengan mempertanyakan apakah ada yang dapat kita ketahui seandainya seluruh benda dan indera dibuang. Seandainya tidak ada benda dan tidak ada alat pengindiera, apakah ada sesuatu yang dapat kita ketahui?
Menurut Immanuel Kant, pengetahuan manusia muncul dari dua sumber utama yaitu pengalaman pancaindra dan pemahaman akal budi (rasio). Pengalaman yang diperoleh melalui pancaindra kita kemudian diolah oleh pemahaman rasio kita dan menghasilkan pengetahuan. Itu sebabnya pengetahuan manusia selalui bersifat apriori dan aposteriori secara bersamaan. Tanpa pengalaman indrawi maka pengetahuan hanyalah konsep-konsep belaka, tetapi tanpa pemahaman rasio pun pengalaman indrawi hanya merupakan kesan-kesan panca indra belaka yang tidak akan sampai pada keseluruhan pengertian yang teratur yang menjadikannya sebagai sebuah pengetahuan.
Pengetahuan bermula dari pengalaman pancaindra yang kemudian diolah oleh pemahaman rasio untuk menghasilkan sebuah pengetahuan yang menyeluruh dan teratur. Oleh sebab itu, maka segala sesuatu yang tidak bisa dialami oleh pancaindra tidak bisa dijadikan sebagai sumber pengetahuan, tetapi hanya sebagai sebuah hipotesis belaka.
Menurutnya, proses pengetahuan melalui tiga tahap yakni, pertama,  pengetahuan inderawi: segala data pada awalnya masuk melalui indera kita (a posteriori/pengalaman iderawi).  Kedua, Verstand merupakan bagaian akal sederhana (a priori) yang lebih dominan. Ketiga, Vernumft merupakan bagian akal yang lebih canggih (a priori) yang lebih dominan.
Pengetahuan ada tiga macam yaitu: pertama, pengetahuan analitis a priori (statement yang berupa definisi tentang subjek): pengetahuan yang hanya menganalisis tentang subjek. Kedua, pengetahuan sintetis a posteriori: ada unsur baru yang ditempelkan pada subjek berdasarkan pengalaman dengan subjek. Ketiga, pengetahuan sintetis a priori: pengetahuan yang lekat dengan Matematika, sehingga ada unsur-unsur baru tetapi hanya merupakan hasil kalkulasi angka-angka matematis. Karena itu, Metafisika bisa digolongkan sebagai pengetahuan jenis ketiga ini.
4.    What Is Man ? (Siapakah Manusia Itu)
Dalam beberapa sumber pustaka dapat ditemukan berbagai rumusan tentang manusia. Manusia adalah makhluk yang pandai bertanya, bahkan ia mempertanyakan dirinya sendiri, keberadaannya dan dunia seluruhnya. Binatang tidak mampu berbuat demikian dan itulah salah satu alasan mengapa manusia menjulang tinggi di atas binatang. Manusia yang bertanya tahu tentang keberadaannya dan ia pun menyadari juga dirinya sebagai penanya. Jadi, dia mencari dan dalam pencariannya ia mengandaikan bahwa ada sesuatu yang bisa ditemukan, yaitu kemungkinan-kemungkinannya, termasuk kemampuannya mencari makna kehidupannya (der Weij, 1991: 7-8).
Drijarkara dalam bukunya Filsafat Manusia (1969: 7) mengatakan bahwa manusia adalah makhluk yang berhadapan dengan dirinya sendiri. Tidak hanya berhadapan, tetapi juga menghadapi, dalam arti mirip dengan menghadapi soal, menghadapi kesukaran dsb. Jadi, dia melakukan, mengolah diri sendiri, mengangkat dan merendahkan diri sendiri dsb. Dia bisa bersatu dengan dirinya sendiri, dia juga bisa mengambil jarak dengan dirinya sendiri. Bersama dengan itu, manusia juga makhluk yang berada dan menghadapi alam kodrat. Dia merupakan kesatuan dengan alam, tetapi juga berjarak dengannya. Dia bisa memandangnya, bisa mempunyai pendapat-pendapat terhadapnya, bisa merubah dan mengolahnya. Lebih lanjut Drijarkara mengatakan bahwa manusia itu selalu hidup dan merubah dirinya dalam arus situasi konkrit. Dia tidak hanya berubah dalam tetapi juga karena dirubah oleh situasi itu. Namun, dalam berubah-ubah itu, dia tetap sendiri. Manusia selalu terlibat dalam situasi, situasi itu berubah dan merubah manusia. Dengan ini dia menyejarah.
Ilmu-ilmu kemanusiaan termasuk ilmu filsafat telah mencoba menjawab pertanyaan mendasar tentang manusia itu, sehingga dapat dibayangkan betapa banyak rumusan pengertian tentang manusia. Selain yang telah disebutkan di atas, beberapa rumusan atau definisi lain tentang manusia adalah sebagai berikut: homo sapiens, homo faber, homo economicus, dan homo religiosus. Dengan ungkapan yang berbeda kita mengenal definisi tentang manusia, di antaranya, manusia sebagai: animal rationale, animal symbolicum dan animal educandum.
Banyaknya definisi tentang manusia, membuktikan bahwa manusia adalah makhluk multi dimensional, manusia memiliki banyak wajah. Lalu, wajah yang manakah yang mau kita ikuti? Apakah wajah manusia menurut kacamata seorang biolog? Apakah wajah manusia menurut kacamata seorang psikolog? Apakah wajah manusia menurut kacamata seorang antropolog? Atau yang lainnya? (Poespowardojo, 1978: 3). Berdasarkan fakta tersebut, maka ada yang mencoba membuat polarisasi pemikiran tentang manusia sebagaimana akan terlihat pada uraian di bawah ini,
a.    Manusia menurut pola pemikiran biologis
Menurut pola pemikiran ini, manusia dan kemampuan kreatifnya dikaji dari struktur fisiologisnya. Salah satu tokoh dalam pola ini adalah Portmann yang berpendapat bahwa kehidupan manusia merupakan sesuatu yang bersifat sui generis meskipun terdapat kesamaan-kesamaan tertentu dengan kehidupan hewan atau binatang. Dia menekankan aktivitas manusia yang khas, yakni bahasanya, posisi vertikal tubuhnya, dan ritme pertumbuhannya. Semua sifat ini timbul dari kerja sama antara proses keturunandan proses sosial-budaya.
Aspek individualitas manusia bersama sifat sosialnya membentuk keterbukaan manusia yang berbeda dengan ketertutupan dan pembatasan deterministis binatang oleh lingkungannya. Manusia tidak membiarkan dirinya ditentukan oleh alam lingkungannya. Menurut pola ini, manusia dipahami dari sisi internalitas, yaitu manusia sebagai pusat kegiatan intern yang menggunakan bentuk lahiriah tubuhnya untuk mengekspresikan diri dalam komunikasi dengan sesamanya.
b.    Manusia menurut pola psikolgis
Kekhasan pola ini adalah perpaduan antara metode-metode psikologi eksperimental dan suatu pendekatan filosofis tertentu, misalnya fenomenologi. Tokoh-tokoh yang berpengaruh besar pada pola ini antara lain Ludwig Binswanger, Erwin Straus dan Erich Fromm. Binswanger mengembangkan suatu analisis eksistensial yang bertitik tolak dari psikoanalisisnya Freud. Namun pendirian Binswanger bertolak belakang dengan pendirian Freud tentang kawasan bawah sadar manusia yang terungkap dalam mimpi, nafsu dan dorongan seksual. Menurut Binswanger, analisis Freud sangat berat sebelah karena dia mengabaikan aspek-aspek budaya dari eksistensi manusia seperti agama, seni, etika dan mitos.
Freud dengan psikoanalisisnya berpendapat bahwa manusia pada dasarnya
digerakkan oleh dorongan-dorongan dari dalam dirinya yang bersifat instinktif. Tingkah laku individu ditentukan dan dikontrol oleh kekuatan psikhis yang sejak semula memang sudah ada pada diri individu itu. Individu dalam hal ini tidak memegang kendali atas “nasibnya” sendiri, tetapi tingkah lakunya semata-mata diarahkan untuk memuaskan kebutuhan dan instink biologisnya. Pandangan Freud tersebut ditentang oleh pandangan humanistik tentang manusia. Pandangan humanistik menolak pandangan Freud yang mengatakan bahwa manusia pada dasarnya tidak rasional, tidak tersosialisasikan dan tidak memiliki kontrol terhadap “nasib” dirinya sendiri. Pandangan behavioristik pada dasarnya menganggap bahwa manusia sepenuhnya adalah makhluk reaktif yang tingkah lakunya dikontrol atau dikendalikan oleh faktorfaktor yang datang dari luar. Penentu tunggal dari tingkah laku manusia adalah lingkungan. Dengan demikian, kepribadian individu dapat dikembalikan semata-mata kepada hubungan antara individu dan lingkungannya. Hubungan itu diatur oleh hukumhukum belajar seperti teori pembiasaan (conditioning) dan peniruan.
Dari ketiga pandangan yang disebut terakhir, dapat disimpulkan bahwa Freud dengan psikoanalisisnya lebih menekankan faktor internal manusia, sementara pandangan behaviorisme lebih menekankan faktor eksternal. Sedangkan pandangan psikologi humanistik lebih menekankan kemampuaan manusia untuk mengarahkan dirinya, baik karena pengaruh faktor internal maupun eksternal.
c.    Manusia menurut pola pemikiran sosial-budaya
Manusia menurut pola pemikiran ini tampil dalam dimensi sosial dan kebudayaannya, dalam hubungannya dengan kemampuannya untuk membentuk sejarah. Menurut pola ini, kodrat manusia tidak hanya mengenal satu bentuk yang uniform melainkan berbagai bentuk. Salah satu tokoh yang termasuk dalam pola ini adalah Erich Rothacker. Dia berupaya memahami kebudayaan setiap bangsa melalui suatu proses yang dinamakan reduksi pada jiwa-jiwa nasional dan melalui mitos-mitos. Yang dimaksud reduksi pada jiwa-jiwa nasional adalah proses mempelajari suatu kebudayaan tertentu dengan mengembalikannya pada sikap-sikap dasar serta watak etnis yang melahirkan pandangan bangsa yang bersangkutan tentang dunia, atau weltanschauung. Pengalaman purba itu dapat direduksi lagi. Dengan demikian, meskipun orang menciptakan dan mengembangkan lingkup kebudayaan nasionalnya, kemungkinan-kemungkinan pelaksanaan dan pengembangannya sudah ditentukan, karena semuanya itu sudah terkandung dalam warisan ras
d.   Manusia menurut pola pemikiran Religius
Pola pemikiran ini bertolak dari pandangan manusia sebagai homo religiosus. Salah satu tokohnya adalah Mircea Eliade. Pandangan Eliade dapat dilihat pada tulisan Mangunhardjono dalam buku Manusia Multi Dimensional: Sebuah renungan filsafat, 1982:38). Menurut Eliade, homo religiosus adalah tipe manusia yang hidup dalam suatu alam yang sakral, penuh dengan nilai-nilai religius dan dapat menikmati sakralitas yang ada dan tampak pada alam semesta, alam materi, alam tumbuh-tumbuhan, dan manusia. Pengalaman dan penghayatan akan Yang Suci ini selanjutnya mempengaruhi, membentuk, dan ikut menentukan corak serta cara hidupnya. Eliade mempertentangkan homo religiosus dengan alam homo non-religiosus, yaitu manusia yang tidak beragama, manusia modern yang hidup di alam yang sudah didesakralisasikan, bulat-bulat alamiah, apa adanya, yang dirasa atau yang dialami tanpa sakralitas. Bagi manusia yang nonreligiosus, kehidupan ini tidak sakral lagi, melainkan profane saja.
Berfokus pada hakekat manusia apa arti manusia, antropologi. Pandangan Imamuel Kant tantang Manusia. Immanuel Kant mengatakan bahwa hanya manusialah tujuan pada dirinya, dan bukan semata-mata alat atau sarana yang boleh diperlakukan sewenang-wenang.
Di dalam segala tindakan manusia baik yang ditujukan kepada dirinya sendiri maupun kepada orang lain, manusia harus dipandang serentak sebagai tujuan. Bagi Immanuel Kant, manusialah aktor yang mengkonstruksi dunianya sendiri. Melalui a priori formal, jiwa manusia mengatur data kasar pengalaman (pengindraan) dan kemudian membangun ilmu-ilmu matematika dan fisika. Melalui kehendak yang otonomlah jiwa membangun moralitas.
Dari pemaparan diatas mengenai Persoalan Filsafat menurut Immanuel Kant, dapat kita simpulkan bahwa setiap permasalahan yang berkaitan dengan 4 persoalan tersebut mulai dari harapan setiap manusia pasti memiliki harapan dalam hidupnya, serta diiringi dengan doa pula. pada hakekat /metafisika Pemikiran Immanuel Kant mengenai harapan yaitu Tentang Agama dan Tuhan. Setelah harapan yang selanjutnya adalah etika. Objek material etika adalah tingkah laku atau perbuatan manusia, sedang objek formal etika adalah kebaikan atau keburukan, bermoral atau tidak bermoral. Setelah harapan dan etika selanjutnya pengetahuan, pengetahuan didapat dari pengamatan. Menurut Immanuel Kant, pengetahuan manusia muncul dari dua sumber utama yaitu pengalaman pancaindra dan pemahaman akal budi (rasio). Pengalaman yang diperoleh melalui pancaindra kita kemudian diolah oleh pemahaman rasio kita dan menghasilkan pengetahuan. Kemudian Yang terakhir adalah manusia. Bagi Immanuel Kant, manusialah aktor yang mengkonstruksi dunianya sendiri.




  DAFTAR PUSTAKA

Adelbert Snijder. Seluas Segala Kenyataan.
Harry Hamersma, 1986, Tokoh-tokoh Filsafat Modern , Gramedia Jakarta.
Hawasi. David Hume:Kita Mempunyai Perasaan Moral. Jakarta, Poliyana Widyapustaka, 2003.
Hawasi. Immanuel Kant: Langit Berbintang di Atasku Hukum Moral di Batinku. Jakarta, Poliyama Widyapustaka, 2003.
Lorens Bagus. 2000. Kamus Filsafat Jakarta: PT. Gramedia Pustaka Utama. Hlm. 697-700.
Manfred Kuehn (2001). Kant: A Biography. Cambridge University Press
Paul Strathern. 90 Menit Bersama Kant. Jakarta, Erlangga, 2001.
Reza A A Wattimena. Filsafat dan Sains: Sebuah Pengantar. Jakarta, Grasindo, 2008
Robert Audi. 1995. The Cambridge Dictionary of Philosophy. Cambridge, United Kingdom: Cambridge University Press. Hlm. 524-525.
Suparto. Epistemologi Immanuel Kant: Sebuah Tantangan Fajar Budi, Skripsi Jurusan Filsafat Fakultas Ilmu Pengetahuan Budaya UI. Jakarta, Universitas Indonesia, 2003.
Windo Wibowo. Kritisisme Kant: Sintesis Antara Rasionalisme dan Empirisme. Jakarta, Universitas Indonesia.
Wikipedia Bahasa.Harapan. Diperoleh dari https://id.wikipedia.org/wiki/Harapan




Tidak ada komentar:

Posting Komentar