Persoalan
Filsafat Menurut Immanuel Kant
Disusun
Oleh:
Windar Yanti
Immanuel
Kant merupakan tokoh besar dalam filsafat modern. Filsafat Immanuel Kant
disebut juga kritisisme, karena ia berusaha mensintesiskan secara kritis antara
Empirisme oleh Locke dengan Rasionalisme dari Descartes. Kritisisme Kant
dimulai dengan menyelidiki kemampuan dan batas-batas rasio. Immanuel Kant
berusaha mencari jalan tengah untuk mensintesiskan antara Empirisme dan
Rasionalisme, sehingga ia disebut juga sebagai pengukur Realisme Kritis atau
Realisme Modern. Menurut Kant semua pengetahuan dimulai dari pengalaman, namun
tidak berarti semuanya dari pengalaman.
Immanuel
Kant lahir di Koningsberg, Prusia Timur, Jerman. Ia belajar filsafat, fisika,
dan ilmu pasti di Koningsberg, kemudian menjadi guru besar dalam ilmu logika
dan metafisika di Koningsberg juga. Perjalanan hidupnya dapat dibagi menjadi 2
tahap, yaitu tahap pra-kritis dan tahap kritis, dengan kira-kira tahun 1770
sebagai garis pembatasnya, yaitu ketika ia menerima jabatan sebagai guru besar.
Sejak itu ia menyodorkan filsafatnya kepada dunia dengan penuh kepastian.
Semula Immanuel Kant dipengaruhi rasionalisme Leiniz dan Wolf, kemudian
dipengaruhi empirisme Hume. Menurut Kant sendiri Hume yang menjadikan dia
bangun dari “tidurnya” dalam dogmatisme.
Dogmatisme
adalah filsafat yang mendasarkan pandangannya kepada pengertian-pengertian yang
telah ada, tanpa menghiraukan apakah rasio telah memiliki pengertian tentang
hakekat, luas, dan batas kemampuannya sendiri ataukah tidak. Filsafat yang
bersifat dogmatis menerima kebenaran-kebenaran asasi agama dan dasar ilmu
pengetahuan begitu saja tanpa mempertanggungjawabkannya secara kritis.
Dogmatisme menganggap pengenalan obyektif sebagai hal yang sudah ada dengan
sendirinya. Sikap sendirian menurut Immanuel Kant adalah salah. Orang harus
bertanya, “Bagaimana pengenalan obyektif itu mungkin?”. Oleh karena itu penting
sekali menjawab pertanyaan yang mengenai syarat-syarat kemungkinan adanya
pengenalan dan batas-batas pengenalan itu.
Pikiran-pikiran
dan tulisan-tulisannya yang sangat penting membawa revolusi yang jauh
jangkauannya dalam filsafat modern. Ia juga terpengaruh oleh aliran Patteisme
dari ibunya, tetapi ia hidup dalam zaman Sceptisme serta membaca
karangan-karangan Voltaire dan Hume. Akibat dari itu semua kemudian memunculkan
berbagai pertanyaan dalam benaknya. What can we Know? (apa yang dapat kita
ketahui), What is nature and what are the limits of human knowledge? (Apakah
alam ini dan apakah batas-batas kemampuan manusia itu?). Sebagian besar
hidupnya telah ia pergunakan untuk mempelajari logical process of though
(proses penalaran logis), the external world (dunia eksternal), dan the reality
of things (realitas segala yang wujud).
Secara
harfiyah kata kritik berarti “pemisahan”. Zaman pencerahan atau yang dikenal di
Inggris dengan enlightenment. Terjadi pada abad ke 18 di Jerman. Immanuel Kant
mendefinisikan zaman itu dengan mengatakan “dengan aufklarung, manusia akan
keluar dari keadaan tidak akil balig (dalam bahasa Jerman: unmundigkeint), yang
dengan ia sendiri bersalah”. Sebabnya menusia bersalah karena manusia tidak
menggunakan kemungkinan yang ada padanya yaitu rasio.
Dengan demikian zaman
pencerahan merupakan tahap baru dalam proses emansipasi manusia barat yang
sudah dimulai sejak Renaissance dan reformasi. Di Jerman, seorang filosof besar
yang melebihi zaman aufklarung telah lahir yaitu Immanuel Kant.
Menurut
Imanuel Kant ( 1724 – 1804 ), Filsafat adalah ilmu pengetahuan yang menjadi
pokok dan pangkal dari segala pengetahuan yang didalamnya tercakup empat
persoalan. Sumber lain mengatan pertanyaan dari Immanuel Kant yaitu: Apakah
yang dapat kita kerjakan? (jawabannya metafisika )
Metafisika adalah studi keberadaan atau realitas. Metafisika mencoba
menjawab pertanyaan-pertanyaan seperti: Apakah sumber dari suatu realitas?
Apakah Tuhan ada? Apa tempat manusia di dalam semesta? Cabang utama metafisika
adalah ontologi, studi mengenai kategorisasi benda-benda di alam dan hubungan
antara satu dan lainnya.
Tokoh
filsuf empirisme David Hume menghancurkan segala kemungkinan munculnya kembali
sistem metafisika yang mengklaim kemampuan rasio (akal) manusia mencapai
realitas sesungguhnya. Hume hanya mau bersandar pada apa yang bisa diamati
melalui inderawi. Kritik pedas Hume pada metafisika membangunkan Kant dari
tidur dogmatisnya (Immanuel Kant, 1997). Dari Hume, Immanuel Kant menyadari
bahwa disiplin metafisika telah melalaikan keterbatasan pengetahuan manusia
dalam memahami realitas sesungguhnya. Hume yang menolak metafisika, Immanuel
Kant mempertanyakan metafisika untuk merekonstruksi metafisika yang sudah ada.
Ia membuang metafisika tradisional yang diwariskan Aristoteles (filsuf
Yunani) dan Thomas (filsuf skolastik) dengan eviden sebagai dasarnya.
Eviden
yang dimaksud Immanuel Kant adalah dualisme kritisisme yang ekstrem yakni
pengetahuan dan kenyataan yang terpisah oleh jurang yang tidak dapat
diseberangi. Metafisika tradisional menganggap Tuhan sebagai causa prima (penyebab pertama dari
segala sesuatu). Asumsi ini ditolak Immanuel Kant. Menurutnya Tuhan bukanlah
obyek pengalaman dengan kategori kausalitas pada tingkat akal budi (verstand),
melainkan ada pada bidang atau pandangan yang melampaui akal budi, yakni bidang
rasio (vernunft). Bagi Immanuel Kant, pembuktian Tuhan sebagai causa prima
tidak bisa diterima. Ada tidaknya Tuhan mustahil dibuktikan. Tuhan ditempatkan
Immanuel Kant sebagai postulat bagi tindakan moral pada rasio praktis.
Menurut
Immanuel Kant, dalam metafisika tidak terdapat pernyataan-pernyataan
sintetik a priori seperti yang ada di dalam matematika, fisika dan ilmu-ilmu
yang berdasar kepada fakta empiris. Immanuel Kant menamakan metafisika sebagai
“ilusi transenden” (a transcendental illusion). Menurut Kant,
pernyataan-pernyataan metafisika tidak memiliki nilai epistemologis.
Apakah yang seharusnya
kita kerjakan? (jawabannya Etika )
Sampai dimanakah
harapan kita? (jawabannya Agama )
Apakah yang dinamakan
manusia? (jawabannya Antropologi )
Menurutnya pokok
persoalan filsafat disederhanakan kedalam 4 pertanyaan umum yaitu:
1. What May I Hope ? (Apakah Yang
Boleh Saya Harapkan)
Stotland dan
Gottschalk masing-masing mendeskripsikan harapan sebagai keinginan untuk
mencapai tujuan, Stotland menekankan hal penting dan kemungkinan dalam mencapai
tujuan, sedangkan Gottschalk mendeskripsikan tenaga positif yang mendorong
seseorang untuk bekerja melalui keadaan yang sulit (J. Lopez, 2009: 487).
Selanjutnya Staat memandang harapan merupakan ekspetasi yang berinteraksi
dengan pengharapan untuk mewujudkan kemungkinan dan berpengaruh pada tujuan
yang dicapai. Teori tentang harapan sebenarnya telah dikembangkan oleh C.R.
Snyder selama bertahun-tahun. Menurut Snyder (Carr, 2004: 90), harapan adalah
kemampuan untuk merencanakan jalan keluar dalam upaya mencapai tujuan walaupun
adanya rintangan, dan menjadikan motivasi sebagai suatu cara dalam mencapai
tujuan.
Berdasarkan
konsep ini, harapan akan menjadi lebih kuat jika harapan ini disertai dengan
adanya tujuan yang bernilai yang memiliki kemungkinan untuk dapat dicapai. Maka
secara umum dapat disimpulkan pengertian harapan adalah keadaan mental positif
pada seseorang dengan kemampuan yang dimilikinya dalam upaya mencapai tujuan
pada masa depan. Menurut macamnya ada harapan yang optimis dan ada harapan yang
pesimistis (tipis harapan). Harapan yang optimis artinya sesuatu yang akan
terjadi itu sudah memberikan tanda-tanda yang dapat dianalisis secara rasional,
bahwa sesuatu yang akan terjadi bakal muncul. Dalam harapan pesimistis ada
tanda-tanda rasional yang tidak bakal terjadi.
Menurut
Snyder (2000), terdapat komponen-komponen yang terkandung dalam teori harapan
yaitu:
a. Goal
Perilaku
manusia adalah berorientasi dan memiliki arah tujuan. Goal atau tujuan adalah
sasaran dari tahapan tindakan mental yang menghasilkan komponen kognitif.
Tujuan menyediakan titik akhir dari tahapan perilaku mental individu. Tujuan
harus cukup bernilai agar dapat mencapai pemikiran sadar. Tujuan dapat berupa
tujuan jangka pendek ataupun jangka panjang, namun tujuan harus cukup bernilai
untuk mengaktifkan pemikiran yang disadari. Dengan kata lain, tujuan harus
memiliki kemungkinan untuk dicapai tetapi juga mengandung beberapa
ketidakpastian. Pada suatu akhir dari kontinum kepastian, kepastian yang
absolut adalah tujuan dengan tingkat kemungkinan pencapaian 100%, tujuan
seperti ini tidak memerlukan harapan. Harapan berkembang dengan baik pada
kondisi tujuan yang memiliki tingkat kemungkinan pencapaian sedang (Averill
dkk., dalam Snyder, 2000).
b. Pathway Thinking
Untuk dapat
mencapai tujuan maka individu harus memandang dirinya sebagai individu yang
memiliki kemampuan untuk mengembangkan suatu jalur untuk mencapai tujuan.
Proses ini yang dinamakan pathway thinking, yang menandakan kemampuan seseorang
untuk mengembangkan suatu jalur untuk mencapai tujuan yang diinginkan. Pathway
thinking ditandai dengan pernyataan pesan internal seperti “Saya akan menemukan
cara untuk menyelesaikannya!” (Snyder, Lapointe, Crowson, & Early dalam
Lopez, Snyder & Pedrotti, 2003).
Pathway thinking mencakup pemikiran mengenai
kemampuan untuk menghasilkan satu atau lebih cara yang berguna untuk mencapai
tujuan yang diinginkan. Beberapa jalur yang dihasilkan akan berguna ketika
individu menghadapi hambatan, dan orang yang memiliki harapan yang tinggi
merasa dirinya mampu menemukan beberapa jalur alternatif dan umumnya mereka
sangat efektif dalam menghasilkan jalur alternatif (Irving, Snyder, &
Crowson; Snyder, Harris, dkk., dalam Snyder, Rand & Sigmon, 2002).
c. Agency Thinking
Komponen
motivasional pada teori harapan adalah agency,
yaitu kapasitas untuk menggunakan suatu jalur untuk mencapai tujuan yang
diinginkan. Agency mencerminkan
persepsi individu bahwa dia mampu mencapai tujuannya melalui jalur-jalur yang
dipikirkannya, agency juga dapat mencerminkan penilaian individu mengenai
kemampuannya bertahan ketika menghadapi hambatan dalam mencapai tujuannya.
Orang yang
memiliki harapan tinggi menggunakan self-talk seperti “Saya dapat melakukan
ini” dan “Saya tidak akan berhenti sampai disini”. Agentic thinking penting dalam semua pemikiran yang berorientasi
pada tujuan, namun akan lebih berguna pada saat individu menghadapi hambatan.
Ketika individu menghadapi hambatan, agency membantu individu menerapkan
motivasi pada jalur alternatif terbaik. Komponen agency dan pathway saling
memperkuat satu sama lain sehingga satu sama lain saling mempengaruhi dan
dipengaruhi secara berkelanjutan dalam proses pencapaian tujuan.
d. Kombinasi Pathway Thinking dan Agency Thinking
Menurut
teori harapan, komponen pathway thinking
dan agency thinking merupakan dua
komponen yang diperlukan. Namun, jika salah satunya tidak tercapai, maka
kemampuan untuk mempertahankan pencapaian tujuan tidak akan mencukupi. Komponen pathway thinking dan agency thinking merupakan komponen yang
saling melengkapi, bersifat timbal balik, dan berkorelasi positif, tetapi bukan
merupakan komponen yang sama. Oleh sebab itu, teori harapan tersebut spesifik
pada kemampuan untuk menghasilkan rencana untuk mencapai tujuan dan kepercayaan
pada kemampuan untuk mengimplementasikan tujuan tersebut. Individu yang
memiliki kemampuan dalam agency thinking
seharusnya disertakan juga dengan pathway
thinking.
Kesimpulannya,
harapan merupakan kombinasi antara mental agency
thinking dan pathway thinking
yang berfungsi untuk mencapai tujuan. Kedua komponen tersebut disebut mental
karena harapan merupakan proses yang terjadi secara konstan dimana proses
tersebut termasuk apa yang individu pikirkan tentang diri mereka sendiri yang
memiliki kaitan dengan tujuan. Apa yang dipikirkan oleh individu tersebut dapat
mempengaruhi perilaku yang nyata.
Dari
pemaparan diatas mengenai teori harapan, tentu setiap manusia pasti memiliki
harapan dalam hidupnya. Adapun harapan saya mungkin sama dengan kebanyakan orang
pada umumnya, harapan saya yang paling utama adalah dapat membahagiakan kedua
orang tua. Karena merekalah saya dapat duduk dibangku perkuliahan untuk
mewujudkan cita-cita saya, yaitu sebagai seorang guru. Selain itu harapan saya
selanjutnya yaitu semoga dapat lulus tepat pada waktunya dengan nilai yang
memuaskan, tentunya harapan ini dapat terwujud jika kita berusaha dengan
sungguh-sungguh dan disertai doa.
Adapun
menurut pandangan Immanuel Kant sendiri, pada hakekat
/metafisika Pemikiran Immanuel Kant Tentang Agama dan Tuhan. Meskipun Kant
lebih dikenal sebagai filsuf yang berkecimpung dalam bidang epistemologi dan
etika, tetapi kajian tentang Tuhan pun tak luput dari penelaahannya. Dalam
bidang keagamaan atau Teologi, Kant menolak bukti-bukti “onto-teologis” adanya
Tuhan. Artinya, menurutnya, Tuhan itu, statusnya bukan “objek” inderawi,
melainkan a priori yang terletak pada lapisan ketiga (budi tertinggi) dan
berupa “postulat” (Asumsi yg menjadi pangkal dalil yang dianggap benar tanpa
perlu membuktikannya; anggapan dasar).
Immanuel
Kant berargumentasi bahwa konsep seseorang tentang Tuhan harus berasal
dari penalaran; oleh karena itu, ia menyerang bukti-bukti tentang keberadaan
Tuhan, dengan menyangkali keabsahannya. Immanuel Kant berpendapat bahwa tidak
dapat ada terpisah pengalaman yang dapat dibuktikan melalui pengujian. Dalam
hal ini, Kant mengkombinasikan rasionalisme (kebertumpuan pada penalaran
manusia) dan empirisme (pembuktian sesuatu berdasar metode ilmiah).
Bagi
Kant, Tuhan bukanlah soal teoretis, melainkan soal praktis, soal moral, soal
totalitas pengalaman, dan arti atau makna hidup terdalam (ini dampak
positifnya). Dampak negatifnya adalah bahwa sebagai “postulat’ (penjamin)
moralitas, Tuhan adalah konsekuensi moralitas, maka moralitas merupakan dasar
keberadaan Tuhan. Karena itu, muncul tendensi pada Kant untuk meletakkan agama
hanya pada tataran moralitas semata atau perkara horizontal saja (hubungan
antar manusia saja atau soal perilaku di dunia ini saja). Konsekuensinya,
agamanya Kant, tidak memerlukan credo (kepercayaan).
Immanuel
Kant menyatakan bahwa memang Tuhan hanya bisa didekati melalui iman dan iman
itu dilandasi oleh hukum moral. Hukum moral mewajibkan kita untuk selalu
melakukan kebaikan. Tetapi hukum moral ini mensyaratkan tiga hal utama, yaitu:
kebebasan, keabadian jiwa, dan keberadaan tuhan.
Pertama,
kewajiban tentu mengandaikan kebebasan. Kita bebas untuk tidak menjalankan
hukum moral untuk melakukan kebaikan. Maka kemudian hukum moral menjadi wajib.
Kebaikan menjadi wajib dilakukan. Apabila tidak ada kebebasan maka tidak akan
ada kewajiban. Karena manusia bebas untuk melakukan atau tidak melakukan
kebaikan maka kemudian muncul kewajiban untuk melakukan kebaikan.
Kedua,
adalah keabadian jiwa. Hukum moral bertujuan untuk mencapai kebaikan tertinggi.
Kebaikan tertinggi ini mengandung elemen keutamaan dan kebahagiaan. Orang
dinyatakan memiliki keutamaan apabila perbuatannya sesuai dengan hukum moral.
Dari keutamaan inilah kemudian muncul kebahagiaan.
Tetapi
menurut Immanuel Kant, manusia itu tidak akan selalu mencapai kondisi
keutamaan. Tidak akan pernah manusia mencapai kesesuaian kehendak dengan hukum
moral. Karena apabila manusia bisa mencapai kesesuaian ini tanpa putus maka itu
adalah kesucian dan tidak ada manusia yang akan pernah mencapai kesucian
mutlak. Manusia hanya akan selalu berusaha untuk mencapai kesucian itu, dan itu
adalah perjuangan tanpa akhir. Karena egoisme dan sifat dasar manusia lainnya,
maka perjuangan mencapai kesucian itu adalah perjuangan tanpa akhir.
Oleh
sebab itu, keutamaan yang menjadi elemen kebaikan tertinggi yang merupakan
tujuan akhir dari hukum moral tidak akan pernah bisa direalisasikan selama
manusia hidup. Dengan kata lain kondisi ideal dimana terjadi kesesuaian antara
kehendak dan hukum moral adalah jika manusia sudah tidak memiliki kehendak
(mati), tetapi apabila setelah mati tidak ada kehidupan maka kondisi ideal itu
juga tidak akan tercapai, maka hukum moral mengandaikan bahwa jiwa itu abadi.
Bahkan setelah raga ini mati jiwa akan selalu abadi untuk mencapai kondisi ideal
berupa kebaikan tertinggi.
Ketiga,
adalah keberadaan tuhan. Telah dijelaskan bahwa kebaikan tertinggi memiliki
elemen keutamaan dan kebahagaiaan. Keutamaan adalah kesesuaian antara kehendak
dengan hukum moral dan dari keutamaan inilah muncul kebahagiaan. Kebahagiaan
sendiri adalah kondisi di mana realitas manusia sesuai dengan keinginan dan
kehendaknya. Tapi hal itu tidaklah mungkin karena manusia bukan yang maha
pengatur yang bisa mengharmoniskan dunia fisik sesuai dengan kehendak dan
keinginannya. Tapi justru itulah yang diandaikan apabila kita memiliki
keutamaan.
Kebahagiaan
diandaikan sebagai sintesis dari dunia fisik, kehendak, dan keinginan. Realitas
inilah yang kemudian disebut tuhan. Tuhan adalah penyebab tertinggi alam sejauh
alam itu diandaikan untuk kebaikan tertinggi atau tuhan adalah pencipta alam
fisik yang sesuai dengan kehendak dan keinginan-Nya. Apabila kita bertindak
sesuai hukum moral maka akan membawa kita pada keutamaan dan keutamaan akan
membawa kita pada kebahagiaan dan kebahagiaan adalah kondisi di mana terdapat
kesesuaian antara alam fisik dengan kehendak dan keinginan. Dan yang memiliki
kesesuaian ketiga elemen ini adalah Tuhan. Maka, dengan berbuat baik kita akan
sampai pada realitas keberadaan Tuhan. Artinya hukum moral mengandaikan
keberadaan Tuhan.
Jika
tiga syarat (kebebasan, keabadian jiwa, dan keberadaan tuhan) ini tidak
diandaikan keberadaanya, maka runtuhlah sistem moral. Padalah sistem moral itu
selalu ada. Kebaikan selalu ada dan manusia selalu mencoba mewujudkan kebaikan
tersebut. Pemikiran Immanuel Kant Tentang Agama dan Tuhan.
2. What Shoul I Do ? (Apakah Yang
boleh Saya Lakukan)
Persoalan
pada pedoman hidup/aksiologi/nilai/etika. Pemikiran Immanuel Kant tantang
Etika (Deontologi). Etika disebut juga filsafat moral, yang berasal dari kata
ethos (Yunani) yang berarti watak. Moral berasal dari kata mos atau mores
(Latin) yang artinya kebiasaan. Objek material etika adalah tingkah laku atau
perbuatan manusia, sedang objek formal etika adalah kebaikan atau keburukan,
bermoral atau tidak bermoral.
Moralitas
manusia adalah objek kajian etika yang telah berusia sangat lama. Sejak manusia
terbentuk, persoalan perilaku yang sesuai dengan moralitas telah menjadi
bahasan. Berkaitan dengan hal itu, kemudian muncul dua teori yang menjelaskan
bagaimana suatu perilaku itu dapat diukur secara etis yaitu Deontologis dan Teologis.
Teori
Deontologis dihasilkan oleh pemikiran Immanuel Kant. Deontologi berasal dari
kata Deon (Yunani) yang berarti kewajiban. Menurut teori ini perbuatan adalah
baik jika dilakukan berdasarkan “imperatif kategoris” (perintah tak bersyarat).
Yang menjadi dasar bagi baik buruknya perbuatan adalah kewajiban dan tujuan yang
baik tidak menjadikan perbuatan itu baik. Etika Immanuel Kant diawali dengan
pernyataan bahwa satu-satunya hal baik yang tak terbatasi dan tanpa
pengecualian adalah “kehendak baik”. Sejauh orang berkehendak baik maka orang
itu baik, penilaian bahwa sesorang itu baik sama sekali tidak tergantung pada
hal-hal diluar dirinya, tak ada yang baik dalam dirinya sendiri kecuali
kehendak baik. Wujud dari kehendak baik yang dimiliki seseorang adalah bahwa ia
mau menjalankan Kewajiban. Setiap tindakan yang kita lakukan adalah untuk
menjalankan kewajiban sebagai hukum batin yang di taati, tindakan itulah yang
mencapai moralitas.
Etika
deontologi sangat menekankan motivasi, kemauan baik dan watak yang kuat dari
perilaku. Kemauan baik adalah syarat mutlak untuk bertindak secara moral.
Tindakan yang baik adalah tindakan yang tidak saja sesuai dengan kewajiban
melainkan juga yang dijalankan demi kewajiban.
Kewajiban
menurutnya adalah keharusan tindakan demi hormat terhadap hukum, tidak peduli
apakah itu membuat kita nyaman atau tidak, senang atau tidak, cocok atau tidak,
pokoknya aku wajib menaatinya. Ketaatan ini muncul dari sikap batin yang
merupakan wujud dari kehendak baik yang ada didalam diri.
Tiga
prinsip yang harus dipenuhi: Pertama,
supaya suatu tindakan mempunyai nilai moral, tindakan itu harus dijalankan
berdasarkan kewajiban. Kedua, nilai
moral dari tindakan itu tidak tergantung pada tercapainya tujuan dari tindakan
itu melainkan tergantung pada kemauan baik yang mendorong seseorang untuk
melakukan tindakan itu (walaupun tujuannya tidak tercapai, tindakan itu sudah
dinilai baik). Ketiga, sebagai
konsekuensi dari kedua prinsip itu, kewajiban adalah hal tindakan yang
dilakukan berdasarkan sikap hormat pada hukum moral universal.
Menurut
Immanuel Kant ada tiga kemungkinan seseorang menjalankan kewajibannya. Pertama, ia memenuhi kewajiban karena
hal itu meng- untungkannya. Kedua, ia
memenuhi kewajibannya karena ia terdorong dari perasaan yang ada didalam
hatinya, misalnya rasa kasihan. Ketiga,
ia memenuhi kewajibannya kerena kewajibannya tersebut, karena memang ia mau
memenuhi kewajibannya.
Menurut Immanuel
Kant, ketika manusia meninggalkan pamrih-pamrihnya, maka kehendak baik di dunia
ini akan terwujud dalam pelaksanaan kewajiban. Kant kewajiban dan tindakan yang
dilakukan demi kewajiban. Untuk tindakan yang sesuai dengan kewajiban baginya
tidak berharga secara moral, sedangkan tindakan yang dilakukan demi kewajiban
itu bernilai moral.
3. What Can I Know ? (Apakah Yang
Dapat Saya Ketahui)
Pengetahuan
didapat dari pengamatan. Dalam pengamatan inderawi tidak dapat ditetapkan apa
yang subyektif dan apa yang obyektif. Jika kesan-kesan subyektif dianggap
sebagai kebenaran maka hal itu mengakibatkan adanya gambaran-gambaran yang
kacau di dalam imajinasi. Segala pengetahuan dimulai dengan gambaran-gambaran
inderawi, kemudian ditingkatkan hingga sampai kepada yang lebih tinggi, yaitu
pengetahuan rasional dan pengetahuan intuitif. Dalam pengetahun rasional orang
hanya mengambil kesimpulan-kesimpulan, sedang dalam intuisi orang memandang
kepada ide-ide yang berkaitan dengan Tuhan. Demikian pendapat Baruch Spinoza.
Hal ini berbeda dengan pendapat Thomas Hobbes (1588-1679), salah seorang tokoh
emperisme, yang mengatakan bahwa pengetahuan diperoleh karena pengalaman.
Menurutnya pengalaman adalah awal
segala pengetahuan, segala ilmu pengetahuan diturunkan dari pengalaman dan
hanya pengalamanlah yang memberi jaminan akan kepastian. Yang disebut
pengalaman adalah keseluruhan atau totalitas segala pengamatan yang disimpan
dalam ingatan dan digabungkan dengan suatu pengharapan akan masa depan, sesuai
dengan apa yang telah diamati pada masa lampau. Beberapa filsuf yang lain
seperti Bacon, Thomas Hobbes dan John Locke mengatakan bahwa sumber pengetahaun
adalah pengalaman inderawi, bukan akal budi atau ratio. Pada dasarnya menurut
mereka, pengetahuan bergantung pada pancaindera manusia dan
pengalaman-pengalaman inderanya, bukan pada rasio. Mereka juga mengklaim bahwa
seluruh ide dan konsep manusia sesungguhnya berasal dari pengalaman. Tidak ada
ide atau konsep yang di dalam dirinya sendiri bersifat apriori, tetapi
sesungguhnya aposteriori.
Tingkat pengetahuan dalam domain
kognitif mempunyai 6 tingkatan yaitu:
a. Tahu (Know)
Tahu diartikan sebagai mengingat suatu materi yang dipelajari sebelumnya
termasuk dalam pengetahuan. Tingkat ini adalah mengingat kembali (recall)
terhadap sesuatu yang spesifik dari seluruh bahan yang dipelajari atau
rangsangan yang telah diterima. Tahu merupakan tingkatan pengetahuan yang paling
rendah. Kata kerja untuk mengukurnya antara lain menyebutkan, menguraikan,
mengindentifikasi, menyatakan dan sebagainya.
b. Memahami (Comprehension)
Memahami diartikan sebagai suatu kemampuan menjelaskan secara benar tentang
objek yang diketahui dan dapat menginterprestasikan materi tersebut secara
benar. Orang yang telah paham terhadap objek atau materi harus dapat
menjelaskan, menyebutkan contoh, menyimpulkan, meramalkan dan sebagainya.
c.
Aplikasi (Aplication)
Aplikasi diartikan sebagai suatu kemampuan menggunakan materi yang telah
dipelajari pada situasi atau kondisi riil (sebenarnya).
d. Analisis (Analysis)
Analisis adalah suatu kemampuan untuk menjabarkan materi atau suatu objek
ke dalam komponen-komponen, tetapi masih dalam suatu struktur organisasi
tersebut, dan masih ada kaitannya satu sama lain.
e. Sintesis.
Sintesis menunjuk kepada suatu kemampuan untuk meletakkan atau
menghubungkan bagian-bagian didalam suatu bentuk keseluruhan yang baru. Secara
lebih sederhana, sintesis adalah kemampuan untuk menyusun formulasi baru dari
formulasi-formulasi yang telah ada.
f. Evaluasi
(Evaluation)
Evaluasi berkaitan dengan kemampuan untuk melakukan justifikasi atau
penilaian terhadap suatu materi atau suatu objek. Penilaian ini didasarkan
suatu kriteria yang telah ada. Piaget menyatakan bahwa proses dasar yang
terjadi pada penyusunan pengetahuan adalah adaptasi (assimilasi dan akomodasi)
yang diatur oleh ekuilibrasi.
Ditinjau dari sifat dan cara penerapannya pengetahuan terdiri dari dua
macam, yakni: “declarative knowledge dan
procedural kowledge”. Decarative knowlede lazim juga disebut propositional knowledge. Pengetahuan
deklatarif atau pengetahuan prososisional ialah pengetahuan mengenai informasi
faktual yang pada umumnya bersifat statis-normatif dan dapat dijelaskan secara
lisani atau verbal.
Sebaliknya pengetahuan prosedural adalah pengetahuan yang mendasari
kecakapan atau keterampilan perbuatan jasmaniah yang cenderung bersifat
dinamis”. Selanjutnya ada tiga unsur pengetahuan yaitu:
1. Pengamatan (menanamkan) yaitu penggunaan
indra lahir dan indra batin untuk menangkap objek.
2. Sasaran (objek) yaitu sesuatu yang menjadi
bahan pengamatan.
3. Kesadaran (jiwa) salah satu dari alam yang
ada pada diri manusia.
Maka dapat disimpulkan dengan jelas bahwa pengetahuan adalah segenap apa
yang kita ketahui tentang suatu objek tertentu. Pengetahuan merupakan
hasil tahu setelah melakukan penginderaan terhadap suatu objek tertentu.
Penginderaan terjadi melalui panca indera manusia, yakni: indera penglihatan,
pendengaran, penciuman, rasa dan raba. Sebagian besar pengetahuan manusia
diperoleh melalui mata dan telinga.
Pengetahuan seseorang dengan orang lain berbeda-beda, sehingga dengan
demikian pengetahuan merupakan kekayaan mental yang secara langsung atau tidak
langsug memperkaya kehidupan manusia.
Epistemologi
Pemikiran Immanuel Kant tantang Pengatahuan. Menurut Immanuel Kant, pengetahuan
yang mutlak sebenarnya memang tidak akan ada bila seluruh pengetahuan datang
melalui indera. Akan tetapi bila pengetahuan itu datang dari luar melalui akal
murni, yang tidak bergantung pada pengalaman, bahkan tidak bergantung pada indera,
yang kebenarannya a priori.
Immanuel
Kant memulainya dengan mempertanyakan apakah ada yang dapat kita ketahui
seandainya seluruh benda dan indera dibuang. Seandainya tidak ada benda dan
tidak ada alat pengindiera, apakah ada sesuatu yang dapat kita ketahui?
Menurut
Immanuel Kant, pengetahuan manusia muncul dari dua sumber utama yaitu
pengalaman pancaindra dan pemahaman akal budi (rasio). Pengalaman yang
diperoleh melalui pancaindra kita kemudian diolah oleh pemahaman rasio kita dan
menghasilkan pengetahuan. Itu sebabnya pengetahuan manusia selalui bersifat
apriori dan aposteriori secara bersamaan. Tanpa pengalaman indrawi maka
pengetahuan hanyalah konsep-konsep belaka, tetapi tanpa pemahaman rasio pun
pengalaman indrawi hanya merupakan kesan-kesan panca indra belaka yang tidak
akan sampai pada keseluruhan pengertian yang teratur yang menjadikannya sebagai
sebuah pengetahuan.
Pengetahuan
bermula dari pengalaman pancaindra yang kemudian diolah oleh pemahaman rasio
untuk menghasilkan sebuah pengetahuan yang menyeluruh dan teratur. Oleh sebab
itu, maka segala sesuatu yang tidak bisa dialami oleh pancaindra tidak bisa
dijadikan sebagai sumber pengetahuan, tetapi hanya sebagai sebuah hipotesis
belaka.
Menurutnya,
proses pengetahuan melalui tiga tahap yakni, pertama, pengetahuan inderawi: segala data pada awalnya masuk
melalui indera kita (a posteriori/pengalaman iderawi). Kedua, Verstand merupakan bagaian akal
sederhana (a priori) yang lebih dominan. Ketiga,
Vernumft merupakan bagian akal yang lebih canggih (a priori) yang lebih dominan.
Pengetahuan
ada tiga macam yaitu: pertama,
pengetahuan analitis a priori (statement yang berupa definisi tentang subjek):
pengetahuan yang hanya menganalisis tentang subjek. Kedua, pengetahuan sintetis a posteriori: ada unsur baru yang
ditempelkan pada subjek berdasarkan pengalaman dengan subjek. Ketiga, pengetahuan sintetis a priori:
pengetahuan yang lekat dengan Matematika, sehingga ada unsur-unsur baru tetapi
hanya merupakan hasil kalkulasi angka-angka matematis. Karena itu, Metafisika
bisa digolongkan sebagai pengetahuan jenis ketiga ini.
4. What Is Man ? (Siapakah Manusia
Itu)
Dalam
beberapa sumber pustaka dapat ditemukan berbagai rumusan tentang manusia.
Manusia adalah makhluk yang pandai bertanya, bahkan ia mempertanyakan dirinya
sendiri, keberadaannya dan dunia seluruhnya. Binatang tidak mampu berbuat
demikian dan itulah salah satu alasan mengapa manusia menjulang tinggi di atas
binatang. Manusia yang bertanya tahu tentang keberadaannya dan ia pun menyadari
juga dirinya sebagai penanya. Jadi, dia mencari dan dalam pencariannya ia
mengandaikan bahwa ada sesuatu yang bisa ditemukan, yaitu
kemungkinan-kemungkinannya, termasuk kemampuannya mencari makna kehidupannya
(der Weij, 1991: 7-8).
Drijarkara dalam bukunya Filsafat Manusia (1969: 7) mengatakan bahwa
manusia adalah makhluk yang berhadapan dengan dirinya sendiri. Tidak hanya
berhadapan, tetapi juga menghadapi, dalam arti mirip dengan menghadapi soal,
menghadapi kesukaran dsb. Jadi, dia melakukan, mengolah diri sendiri,
mengangkat dan merendahkan diri sendiri dsb. Dia bisa bersatu dengan dirinya
sendiri, dia juga bisa mengambil jarak dengan dirinya sendiri. Bersama dengan
itu, manusia juga makhluk yang berada dan menghadapi alam kodrat. Dia merupakan
kesatuan dengan alam, tetapi juga berjarak dengannya. Dia bisa memandangnya,
bisa mempunyai pendapat-pendapat terhadapnya, bisa merubah dan mengolahnya.
Lebih lanjut Drijarkara mengatakan bahwa manusia itu selalu hidup dan merubah
dirinya dalam arus situasi konkrit. Dia tidak hanya berubah dalam tetapi juga
karena dirubah oleh situasi itu. Namun, dalam berubah-ubah itu, dia tetap
sendiri. Manusia selalu terlibat dalam situasi, situasi itu berubah dan merubah
manusia. Dengan ini dia menyejarah.
Ilmu-ilmu kemanusiaan termasuk ilmu filsafat telah mencoba menjawab
pertanyaan mendasar tentang manusia itu, sehingga dapat dibayangkan betapa
banyak rumusan pengertian tentang manusia. Selain yang telah disebutkan di
atas, beberapa rumusan atau definisi lain tentang manusia adalah sebagai
berikut: homo sapiens, homo faber, homo economicus, dan homo religiosus. Dengan ungkapan yang
berbeda kita mengenal definisi tentang manusia, di antaranya, manusia sebagai: animal rationale, animal symbolicum dan
animal educandum.
Banyaknya definisi tentang manusia, membuktikan bahwa manusia adalah makhluk multi dimensional, manusia
memiliki banyak wajah. Lalu, wajah yang manakah yang mau kita ikuti? Apakah
wajah manusia menurut kacamata seorang biolog? Apakah wajah manusia menurut
kacamata seorang psikolog? Apakah wajah manusia menurut kacamata seorang
antropolog? Atau yang lainnya? (Poespowardojo, 1978: 3). Berdasarkan fakta
tersebut, maka ada yang mencoba membuat polarisasi pemikiran tentang manusia
sebagaimana akan terlihat pada uraian di bawah ini,
a.
Manusia menurut pola pemikiran biologis
Menurut pola pemikiran ini, manusia
dan kemampuan kreatifnya dikaji dari struktur fisiologisnya. Salah satu tokoh
dalam pola ini adalah Portmann yang berpendapat bahwa kehidupan manusia
merupakan sesuatu yang bersifat sui generis meskipun terdapat kesamaan-kesamaan
tertentu dengan kehidupan hewan atau binatang. Dia menekankan aktivitas manusia
yang khas, yakni bahasanya, posisi vertikal tubuhnya, dan ritme pertumbuhannya.
Semua sifat ini timbul dari kerja sama antara proses keturunandan proses
sosial-budaya.
Aspek individualitas manusia bersama
sifat sosialnya membentuk keterbukaan manusia yang berbeda dengan ketertutupan
dan pembatasan deterministis binatang oleh lingkungannya. Manusia tidak
membiarkan dirinya ditentukan oleh alam lingkungannya. Menurut pola ini,
manusia dipahami dari sisi internalitas, yaitu manusia sebagai pusat kegiatan
intern yang menggunakan bentuk lahiriah tubuhnya untuk mengekspresikan diri
dalam komunikasi dengan sesamanya.
b.
Manusia menurut pola psikolgis
Kekhasan pola ini adalah perpaduan
antara metode-metode psikologi eksperimental dan suatu pendekatan filosofis
tertentu, misalnya fenomenologi. Tokoh-tokoh yang berpengaruh besar pada pola
ini antara lain Ludwig Binswanger, Erwin Straus dan Erich Fromm. Binswanger
mengembangkan suatu analisis eksistensial yang bertitik tolak dari
psikoanalisisnya Freud. Namun pendirian Binswanger bertolak belakang dengan
pendirian Freud tentang kawasan bawah sadar manusia yang terungkap dalam mimpi,
nafsu dan dorongan seksual. Menurut Binswanger, analisis Freud sangat berat
sebelah karena dia mengabaikan aspek-aspek budaya dari eksistensi manusia
seperti agama, seni, etika dan mitos.
Freud dengan psikoanalisisnya
berpendapat bahwa manusia pada dasarnya
digerakkan oleh dorongan-dorongan dari dalam dirinya yang bersifat
instinktif. Tingkah laku individu ditentukan dan dikontrol oleh kekuatan
psikhis yang sejak semula memang sudah ada pada diri individu itu. Individu
dalam hal ini tidak memegang kendali atas “nasibnya” sendiri, tetapi tingkah
lakunya semata-mata diarahkan untuk memuaskan kebutuhan dan instink
biologisnya. Pandangan Freud tersebut ditentang oleh pandangan humanistik
tentang manusia. Pandangan humanistik menolak pandangan Freud yang mengatakan
bahwa manusia pada dasarnya tidak rasional, tidak tersosialisasikan dan tidak
memiliki kontrol terhadap “nasib” dirinya sendiri. Pandangan behavioristik pada
dasarnya menganggap bahwa manusia sepenuhnya adalah makhluk reaktif yang
tingkah lakunya dikontrol atau dikendalikan oleh faktorfaktor yang datang dari
luar. Penentu tunggal dari tingkah laku manusia adalah lingkungan. Dengan
demikian, kepribadian individu dapat dikembalikan semata-mata kepada hubungan
antara individu dan lingkungannya. Hubungan itu diatur oleh hukumhukum belajar
seperti teori pembiasaan (conditioning)
dan peniruan.
Dari ketiga pandangan yang disebut terakhir, dapat
disimpulkan bahwa Freud dengan psikoanalisisnya lebih menekankan faktor
internal manusia, sementara pandangan behaviorisme lebih menekankan faktor
eksternal. Sedangkan pandangan psikologi humanistik lebih menekankan kemampuaan
manusia untuk mengarahkan dirinya, baik karena pengaruh faktor internal maupun
eksternal.
c.
Manusia menurut pola
pemikiran sosial-budaya
Manusia menurut pola pemikiran ini
tampil dalam dimensi sosial dan kebudayaannya, dalam hubungannya dengan
kemampuannya untuk membentuk sejarah. Menurut pola ini, kodrat manusia tidak
hanya mengenal satu bentuk yang uniform melainkan
berbagai bentuk. Salah satu tokoh yang termasuk dalam pola ini adalah Erich
Rothacker. Dia berupaya memahami kebudayaan setiap bangsa melalui suatu proses
yang dinamakan reduksi pada jiwa-jiwa nasional dan melalui
mitos-mitos. Yang dimaksud reduksi pada jiwa-jiwa nasional adalah
proses mempelajari suatu kebudayaan tertentu dengan mengembalikannya pada
sikap-sikap dasar serta watak etnis yang melahirkan pandangan bangsa yang
bersangkutan tentang dunia, atau weltanschauung. Pengalaman purba itu
dapat direduksi lagi. Dengan demikian, meskipun orang menciptakan dan
mengembangkan lingkup kebudayaan nasionalnya, kemungkinan-kemungkinan
pelaksanaan dan pengembangannya sudah ditentukan, karena semuanya itu sudah
terkandung dalam warisan ras
d.
Manusia menurut pola
pemikiran Religius
Pola pemikiran ini bertolak dari
pandangan manusia sebagai homo religiosus. Salah satu tokohnya adalah
Mircea Eliade. Pandangan Eliade dapat dilihat pada tulisan Mangunhardjono dalam
buku Manusia Multi Dimensional: Sebuah renungan filsafat, 1982:38).
Menurut Eliade, homo religiosus adalah tipe manusia yang hidup dalam
suatu alam yang sakral, penuh dengan nilai-nilai religius dan dapat menikmati
sakralitas yang ada dan tampak pada alam semesta, alam materi, alam
tumbuh-tumbuhan, dan manusia. Pengalaman dan penghayatan akan Yang Suci ini
selanjutnya mempengaruhi, membentuk, dan ikut menentukan corak serta cara
hidupnya. Eliade mempertentangkan homo religiosus dengan alam homo
non-religiosus, yaitu manusia yang tidak beragama, manusia modern yang
hidup di alam yang sudah didesakralisasikan, bulat-bulat alamiah, apa adanya,
yang dirasa atau yang dialami tanpa sakralitas. Bagi manusia yang
nonreligiosus, kehidupan ini tidak sakral lagi, melainkan profane saja.
Berfokus pada
hakekat manusia apa arti manusia, antropologi. Pandangan Imamuel Kant tantang
Manusia. Immanuel Kant mengatakan bahwa hanya manusialah tujuan pada dirinya,
dan bukan semata-mata alat atau sarana yang boleh diperlakukan sewenang-wenang.
Di dalam segala
tindakan manusia baik yang ditujukan kepada dirinya sendiri maupun kepada orang
lain, manusia harus dipandang serentak sebagai tujuan. Bagi Immanuel Kant,
manusialah aktor yang mengkonstruksi dunianya sendiri. Melalui a priori formal,
jiwa manusia mengatur data kasar pengalaman (pengindraan) dan kemudian
membangun ilmu-ilmu matematika dan fisika. Melalui kehendak yang otonomlah jiwa
membangun moralitas.
Dari
pemaparan diatas mengenai Persoalan Filsafat menurut Immanuel Kant, dapat kita
simpulkan bahwa setiap permasalahan yang berkaitan dengan 4 persoalan tersebut
mulai dari harapan setiap manusia pasti memiliki harapan dalam hidupnya, serta
diiringi dengan doa pula. pada hakekat /metafisika Pemikiran
Immanuel Kant mengenai harapan yaitu Tentang Agama dan Tuhan. Setelah
harapan yang selanjutnya adalah etika. Objek material etika
adalah tingkah laku atau perbuatan manusia, sedang objek formal etika adalah
kebaikan atau keburukan, bermoral atau tidak bermoral. Setelah harapan dan
etika selanjutnya pengetahuan, pengetahuan didapat dari pengamatan. Menurut
Immanuel Kant, pengetahuan manusia muncul dari dua sumber utama yaitu
pengalaman pancaindra dan pemahaman akal budi (rasio). Pengalaman yang
diperoleh melalui pancaindra kita kemudian diolah oleh pemahaman rasio kita dan
menghasilkan pengetahuan. Kemudian Yang terakhir adalah manusia. Bagi Immanuel
Kant, manusialah aktor yang mengkonstruksi dunianya sendiri.
DAFTAR PUSTAKA
Adelbert Snijder. Seluas Segala Kenyataan.
Harry Hamersma, 1986, Tokoh-tokoh Filsafat Modern , Gramedia
Jakarta.
Hawasi. David
Hume:Kita Mempunyai Perasaan Moral. Jakarta, Poliyana Widyapustaka, 2003.
Hawasi. Immanuel
Kant: Langit Berbintang di Atasku Hukum Moral di Batinku. Jakarta,
Poliyama Widyapustaka, 2003.
Lorens Bagus. 2000. Kamus
Filsafat Jakarta: PT. Gramedia Pustaka Utama. Hlm. 697-700.
Manfred Kuehn (2001). Kant:
A Biography. Cambridge University Press
Paul Strathern. 90 Menit Bersama Kant.
Jakarta, Erlangga, 2001.
Reza A A Wattimena. Filsafat dan Sains: Sebuah
Pengantar. Jakarta, Grasindo, 2008
Robert Audi. 1995. The Cambridge Dictionary of
Philosophy. Cambridge, United Kingdom: Cambridge University Press. Hlm.
524-525.
Suparto. Epistemologi
Immanuel Kant: Sebuah Tantangan Fajar Budi, Skripsi Jurusan Filsafat Fakultas
Ilmu Pengetahuan Budaya UI. Jakarta, Universitas Indonesia, 2003.
Windo Wibowo. Kritisisme
Kant: Sintesis Antara Rasionalisme dan Empirisme. Jakarta, Universitas Indonesia.